Kamis, 10 Mei 2012

Kekerasan Terhadap Anak


kekerasan terhadap anak, Perlindungan hak anak

Kekerasan terhadap anak semakin hari semakin bertambah. Dunia maya di hebohkan dengan beredarnya video seorang wanita yang memukuli bayi beredar. Wanita ini dengan sadis memukuli bayi yang masih berusia sekitar satu tahun dengan bantal. Bahkan dirinya mencubiti hingga menendang bayi tersebut di atas tempat tidur.
Semoga saja pihak yang berwenang dapat menemukan dan menindak tegas siapa pelaku tersebut.
Kami menghimbau kepada setiap masyarakat untuk lebih cerdas dalam mengambil tindakan dalam mengasuh anak, bukan dengan cara kekerasan. perubahan paradigma ini harus disadari oleh keluarga, sekolah maupun lingkungan.
Akan banyak dampak yang kepada anak jika kekerasan merupakan solusi bagi orang tua dalam mendidik misalnya :
  • Anak Akan merasa Minder.
  • Tertutup.
  • Temperamental.
Sudah sangat jelas hal-hal tersebut diatas tidak diinginkan oleh setiap orang tua terhadap anaknya.

Semoga Artikel ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Jumat, 27 April 2012

Sepak Bola dan Minimnya Fasilitas di Kelurahan Wameo Kota Baubau



Sepak Bola dan Minimnya Fasilitas
Sepak Bola merupakan salah satu olahraga yang paling populer dan paling digemari oleh masyarakat dunia. Sepak bola bukan hanya sekadar olah raga, tetapi juga mengandung filosofi hidup manusia. Sepak bola bisa menjadi alat pemersatu bangsa dan alat perekat persatuan, contohnya adalah saat pertandingan Timnas Indonesia. Walau berbeda suku, golongan, pulau, partai, bahkan fanatisme klub sekalipun, akan melebur menjadi satu dan mendukung tim Indonesia. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa sepak bola dari zaman dulu sampai sekarang tetap eksis.


Sebagai generasi muda yang mengemban tugas untuk mengisi pembangunan disegala bidang, dalam hal ini Anak-anak, Remaja, Pemuda masyarakat Wameo juga ikut andil didalamnya sebagai pelaku-pelaku pengembangan bidang olahraga khususnya dalam bidang sepakbola. Dengan demikian mereka harus berperan aktif dan proaktif sebagai pewaris dan generasi pengisi pembangunan, kami harus senantiasa menjadi motivator, dinamisator, fasilitator, stabilisator dan innovator yang baik, sehingga menjadi inspirasi bagi generasi muda selanjutnya. Untuk itulah, selayaknya kita mendukung pemuda,remaja dan anak-anak untuk terus bermain sepak bola, dan berharap suatu hari nanti, ada genrasi muda Indonesia yang bisa bermain di klub Eropa dan membawa Timnas ke Piala Dunia. Sebagaimana Ronaldo, Ronaldinho, Cafu dan beberapa pemain lain dari Brasil yang dahulunya sangat mirip dengan keadaan di Kelurahan Wameo, yakni bermain di pinggir jalan raya dan pantai Copacabana, serta di gang-gang kecil. Namun, berkat usaha yang gigih juga semangat bermain yang tinggi akhirnya mereka bisa juga mengecap kesuksesan bermain di level tertinggi dunia, tidak hanya lokal saja.
Dari segi prestasi pertandingan sepak bola lokal para Remaja dan Pemuda di kelurahan wameo memiliki catatan yang cukup baik sekalipun dengan keterbatasan alat-alat penunjang sepak bola juga lokasi untuk berlatih. Biasanya para Anak-anak, Remaja, dan Pemuda kelurahan wameo bermain sepak bola di lokasi pesisir pantai Wameo yaitu di halaman rumah susun, Jalan Raya, Terminal Angkutan Kota. Hal ini dikarenakan tidak adanya sarana lapangan yang menunjang, namun dengan segala keterbatasan ini tidak menjadikan mereka putus asa untuk selalu berlatih. Sebenarnya dengan kondisi bermain di Sekitar Terminal dan jalan raya sangat membahayakan keselamatan baik para pengguna kenderaan bermotor maupun para anak-anak, remaja atau pemuda yang sedang bermain sepakbola.
Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu adanya penunjang-penunjang yang salah satunya adalah fasilitas-fasilitas lapangan dan alat pendukung untuk permainan sepakbola. Fasilitas-fasilitas tersebut akan sangat membantu untuk mengasah serta mengembangkan potensi yang mereka miliki.

Bantu mereka melalui program donasi kami


Dokumentasi : 
  • Minimnya Fasilitas pendukung seperti sepatu, rompi dll. 
  • Tanah kosong,Jalan Raya dan Halam Rumah susun menjadi Lapangan mereka






Jika anda berminat untuk memberikan bantuan, silahkan klik disini. 






 

Minggu, 05 Februari 2012

Upaya Penanggulangan Kemiskinan Ditinjau Dari Karakteristik Potensi Ekonomi Wilayah Sulawesi Tenggara


peta sulawesi tenggara

I.          PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
            Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi. Selanjutnya untuk memberi pemahaman masalah kemiskinan ini secara konseptual, maka dapat dikemukakan dua pengertian kemiskinan jika dilihat dari aspek kualitatif dan aspek kuantitatif. Secara Kualitatif,  kemiskinan adalah suatu kondisi  yang didalamnya hidup manusia tidak “bermartabat manusia”. Atau dengan kata lain, hidup manusia tidak layak sebagai manusia. Secara Kuantitatif, kemiskinan adalah suatu keadaan dimana hidup manusia serba kekurangan, dengan bahasa yang lazim “tidak berharta benda“ (Kartasasmita, 1996 ).
            Sejarah menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia selalu berupaya menanggulangi masalah kamiskinan di negeri ini sejak awal pemerintahan Indonesia berdiri hingga sekarang, namun penduduk miskin di seluruh Indonesia masih merupakan masalah karena jumlahnya yang relatif banyak dan berfluktuasi dari pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. Di antara tahun 1976-1996 persentase penduduk miskin 40,1% dan 1990-1999 turun tajam menjadi 11,3%, sekarang naik lagi menjadi 24,2%. Oleh karenanya upaya untuk mengentaskan kemiskinan terus diagendakan oleh departem-departemen antara lain Departemen Dalam Negeri, Departemen Perikanan dan Kelautan, Departem Pekerjaan Umum, BKKBN, BPMP, Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan Lain-lain
            Sejak krisis ekonomi melanda bangsa Indonesia, angka kemiskinan mengalami peningkatan yang cukup besar. Secara nasional jumlah dan prosentase penduduk miskin pada periode 1996-2006 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta orang dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Prosentase penduduk miskin meningkat 17,47 % menjadi 23,43 % pada periode yang sama. Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Secara relatif juga terjadi penurunan prosentase penduduk miskin dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005. Namun pada tahun 2006  terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu 35,10 juta orang (15,97 %) pada bulan Pebruari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75 %) pada bulan Maret 2006. Penduduk miskin di daerah perdesaan bertambah 2,11 juta, sementara di daerah perkotaan bertambah 2,09 juta orang. Namun secara nasional berdasarkan survey sosial ekonomi nasional (Susenas 2010) pada tahun 2009 prosentase angka kemiskinan menunjukkan adanya penurunan menjadi 32,53 juta (14,15 %) dan pada tahun 2010 menjadi 31,02 juta (13,33 %).
Upaya mengangkat penduduk dari garis kemiskinan menurut Wibowo dan Tukiran (2003), peningkatan kesejahteraan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, budaya, dan manajemen wilayah. Sumber daya alam merupakan faktor produksi yang memungkinkan suatu daerah memiliki kemampuan ekonomi untuk mendukung kegiatan lainnya, sedangkan sumber daya manusia merupakan faktor yang menentukan bagaimana kesejhteraan tersebut ditingkatkan. Sementara itu manajemen wilayah lebih mengacu pada sistem pengaturan dan peraturan yang dikembangkan dalam wilayah tersebut.
            Penanggulangan kemiskinan telah dilakukan sejak dahulu kala baik dari pemerintah, swasta maupun masyarakat itu sendiri. Dengan ditandainya bebrapa program kegiatan maupun perencanaan yang dibuat sebagai bentuk implementasi upaya tersebut. Salah satu contoh upaya yang dilakukan yaitu dengan adanya pembuatan Dokumen Rencana Strategi Penanggulangan Kemiskinan (RENSTRA) atau program-program kemasyarakatan seperti P2KP maupun PNPM yang diluncuran oleh pemerintah pada tanggal 31 Agustus 2006. Untuk Wilayah  Provinsi Sulawesi Tenggara upaya ini  sudah menjadi agenda pokok Pemerintahan yang ada sekarang dengan ditandainya Program pengentasan kemiskinan menjadi salah satu bentuk Vis, Misi yaitu Membangun Kesejahteraan Masyarakat (BAHTERAMAS).

B.     Perkembangan Penduduk Miskin di Sulawesi Tenggara
            Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 2005-2008 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada periode 2005-2006 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 16.300 Jiwa, yaitu dari 450.500 Jiwa pada tahun 2005 menjadi 466.800 Jiwa tahun 2006. Persentase penduduk miskin meningkat dari 21,45 % menjadi 23,37 % pada periode yang sama. Pada periode 2006-2008 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 466.800 Jiwa pada tahun 2006 menjadi 435.900 Jiwa pada tahun 2008. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 23,37 % pada tahun 2006 menjadi 19,53 % pada tahun 2008.
            Untuk jumlah penduduk miskin Provinsi Sulawesi Tenggara menurut BPS (2010), penduduk miskin di Sulawesi Tenggara meningkat tahun 2010 ini yaitu meningkat hingga 34.080 orang. Untuk tahun 2009, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Tenggara berjumlah 403.120 orang Sedangkan untuk tahun 2010 mencapai 437.200 orang. Jumlah penduduk miskin tersebar di semua Kabupaten/kota di Sultra. Untuk wilayah kabupaten Buton sebanyak 69.700 orang, Kabupaten Muna 59.900 orang, Kabupaten Konawe 55.700 orang, Kabupaten Kolaka 68.700 orang, Kabupaten Konawe Selatan 43.700 orang, Kabupaten Bombana 21.800 orang, Kabupaten Wakatobi 24.900 orang, Kabupaten Kolaka Utara 29.300 orang, Kabupaten Buton Utara 12.100 orang, Kabupaten Konawe Utara 8.200 orang, Kota Kendari 23.600 orang dan Kota Baubau 5.281 orang.

C.        Maksud dan Tujuan
            a.     Maksud
                   Maksud penulisan Jurnal ini adalah sebagai bahan masukan atau informasi bagi pembaca untuk mengembangkan tulisan ini dalam Upaya penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tenggara Khususnya
            b.    Tujuan
                   Adapun Tujuannya yaitu melihat potensi-potensi ekonomi yang ada di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai bahan informasi dalam Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tenggara.
D.        Ruang Lingkup
            Ruang lingkup penulisan Jurnal ini mencakup potensi-potensi ekonomi di Porvinsi Sulawesi Tenggara yang dibatasi berdasarkan Potensi Sumber Daya Manusia dan Potensi Sumber Daya Mineral.
         
II.        TINJAUAN TEORI

A.        Defenisi Kemiskinan
            Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi. Selanjutnya untuk memberi pemahaman masalah kemiskinan ini secara konseptual, maka dapat dikemukakan dua pengertian kemiskinan jika dilihat dari aspek kualitatif dan aspek kuantitatif. Secara Kualitatif,  kemiskinan adalah suatu kondisi  yang didalamnya hidup manusia tidak “bermartabat manusia”. Atau dengan kata lain, hidup manusia tidak layak sebagai manusia. Secara Kuantitatif, kemiskinan adalah suatu keadaan dimana hidup manusia serba kekurangan, dengan bahasa yang lazim “tidak berharta benda“ (Kartasasmita, 1996 ).

Bank dunia (1980) menunjukkan tiga dimensi kemiskinan yaitu :
1.        Kemiskinan multidimensional, artinya karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinanpun memiliki banyak aspek yaitu aspek primer yang berupa miskin sehari-hari akan aset-aset, organisasi sosial politik dan pengetahuan serta ketrampilan; dan aspek sekunder yang berupa miskin akan jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informasi. Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut memanifestasikan dirinya dalam bentuk kekurangan gizi, air dan perumahan yang tidak sehat, dan perawatan kesehatan yang kurang baik serta pendidikan yang kurang baik.
2.         Aspek-aspek kemiskinan tadi saling berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti, bahwa kemajuan atau kemunduran pada salah satu aspek dapat mempengaruhi kemajuan atau kemunduran pada aspek lainnya.
Bahwa yang miskin adalah manusianya, baik secara individu maupun kolektif. Kita sering mendengar kemiskinan pedesaan (rural poverty), kemiskinan perkotaan (urban poverty) dan sebagainya, namun ini bukan berarti desa atau kota yang mengalami kemiskinan tetapi orang-orang  atau penduduk atau juga manusianya yang menderita miskin.
            Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya
            Untuk mengetahui Masyarakat yang dikategorikan miskin, BPS telah mengeluarkan 14 (empat belas) indikator kemiskinan yaitu :
1.    Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang
2.    Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3.    Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari babmu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4.    Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5.    Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6.    Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7.    Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8.    Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9.    Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10.  Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11.  Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12.  Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha,buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan.
13.  Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14.  Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.


III.       GAMBARAN UMUM PROVINSI SULAWESI TENGGARA
A.        Letak Geografis
Provinsi Sulawesi Tenggara dilihat dari peta pulau Sulawesi di Jazirah Tenggara. Akan tetapi bila dilihat dari sudut geografis, maka Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara terletak di bagian Selatan garis Khatulistiwa yang memanjang dari Utara ke Selatan diantara 3 derajat L.S sampai 6 derajat L.S dan melebar dari Barat ke Timur diantara 120 0 45' Bujur Timur sampai 124 0 60' Bujur Timur. Batas-Batas Wilayah Provinsi Sulawesi tenggara yaitu di sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi selatan dan Provinsi Sulawesi Tengah, di sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores. Sedangkan di sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda dan di sebelah Barat Berbatasan dengan Teluk Bone.
Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki wilayah daratan seluas 38.140 km² dan wilayah perairan seluas 110.000 km². Secara administratif provinsi ini terdiri dari 10 (Sepuluh) wilayah kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Kolaka Utara, Kota Bau-Bau dan Kota Kendari yang sekaligus sebagai ibukota provinsi. Pada tahun 2005.
B.        Keadaan Penduduk
            Berdasarkan Hasil Sensus Pendudk Bada Pusat Statistik (BPS) Sultra Tahun 2010, Penduduk Provinsi Sulawei Tenggara berjumlah 2.230.569. Jiwa yang tersebar di sepuluh Kabupaten/Kota. Persebaran Penduduk di Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggra. Untuk Laju Pertumbuhan Penduduk Sulawesi Tenggara BPS Sultra (2010), Pertumbuhan Penduduk Sulawesi Tenggara selama sepuluh tahun terakhir, tahun 2000-2010 sebesar 2,07 % per tahun, Lebih besar Kota Kendari jika  dibandingkan dengan laju pertumbuhan Penduduk Nasional sebesar 1,49 %. Laju pertumbuhan Penduduk Kota Kendari merupakan yang tertinggi di Sulawesi Tenggara yakni sebesar 3,52 %, diikuti Kabupaten Bombana sebesar 3,29 % dan Kabupaten Kolaka Utara sebesar 2,88 %.    Sedangkan  yang  terendah  di  Kabupaten  Wakatobi  yakni  sebesar 0,33 %.
C.        Potensi Ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara
            Berdasarkan data yang diperoleh dari www.sultraprov.go.id, Pada tahun 2005 total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Sulawesi Tenggara mencapai Rp. 8,02 triliun. Kontribusi terbesar datang dari sektor pertanian yang mencapai Rp. 2,9 triliun atau 37,3% dari total PDRB diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa dengan kontribusi masing-masing sebesar Rp. 1,2 triliun (15,5%) dan 1,0 triliun (13.4%). Secara umum, perkembangan PDRB Sulawesi Tenggara terlihat sebagaimana grafik disamping.
            Selanjutnya menurut Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara H. Nur Alam SE, potensi ekonomi Sultra mencapai angka  Rp 300 Ribu Triliun lebih. Potensi itu berasal dari kekayaan sumber daya alam Sultra yang melimpah, meliputi tambang nikel, aspal dan emas di atas areal seluas 400 ribu hektar. (Kendari Pos Online Blog, 2009)
B.        Potensi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara
            Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan wilayah yang memiliki kandungan sumber daya alam yang cukup bernilai ekonomi tinggi, sebagaiman diketahui bahwa wilayah provinsi Sulawesi Tenggara memiliki Sumber daya alam di sektor pertambangan, Pertanian, dan Pariwisata.
a. Sektor Pertambangan
Untuk Sektor Pertambangan Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki Potensi yang cukup bernilai ekonomi tinggi seperti aspal, marmer dan biji nikel. Lokasi penyebaran aspal di Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna. Luas areal pertambangan aspal  dikedua kabupaten itu sebesar 13.003,67 ha dengan jumlah cadangan potensi/deposit mencapai 680.747.000 ton, Pada jenis tambang batu marmer, lokasi penyebarannya di Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Kolaka dengan luas areal seluruhnya 189.082 ha dengan jumlah potensi/deposit mencapai 206.237.000.000 m³. Sedangkan biji nikel, produksinya menurut data tahun 2005 mencapai 1.426.672 ton.
b. Sektor Pertanian
Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan daerah penghasil sayur-sayuran. Beberapa produk andalannya adalah kacang panjang, tomat, terung, kangkung, dan sawi. Produksi kacang panjang banyak dihasilkan dari Kabupaten Kolaka, Muna, dan Konawe. 
Luas Lahan Pertanian yang diusahakan berdasarkan data yang diperoleh dari World Friend Indonesia (2010), Luas total sawah yang menggunakan sistem pengairan seluas 70.726 ha, terdiri dari sawah berpengairan teknis seluas 24.744 ha, berpengairan setengah teknis seluas 20.163 ha, berpengairan sederhana PU seluas 10.460 ha, berpengairan irigasi desa seluas 15.359 ha. Luas total sawah yang menggunakan sistem tadah hujan seluas 13.858 ha, sistem pasang surut seluas 2.211 ha, dan sistim pengairan lainnya seluas 1.212 ha.
c. Sektor Pariwisata.
Untuk sektor Pariwisata, Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki banyak objek wisata yang patut untuk dikembangkan. Adapun objek Wisata itu antara lain:
1. Pantai Nambo
yaitu sebuah pantai yang jaraknya ± 12 km dari Kota Kendari atau sekitar 15 menit kearah selatan Kota Kendari dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat dan dapat pula menggunakan perahu tradisional ketinting (kole-kole) sekitar 15 menit dari pelabuhan Kota Kendari menyusuri teluk Kendari.

2. Pantai Karang Purirano
Pantai ini terletak di wilayah Kota Kendari tepatnya di Kecamatan Kendari Kelurahan Purirano sekitar ± 13 km dari pusat Kota dimana pantai ini berupa Daratan Karang/Atol yang terbentuk sebagai akibat abrasi sejak ratusan tahun yakni mengambil karang atau siput laut pada saat air laut sedang surut.
3. Permandian Alam Tamborasi
Objek Wisata ini terletak di Desa Tamborasi Kecamatan Wolo di sebelah Utara Kota Kolaka dengan jarak 80 Km dapat ditempuh dengan kendaraan darat 1 sampai 2 jam juga dapat ditempuh dengan kendaraan Laut. Pantai Tamborasi mempunyai daya Tarik tersendiri dengan julukan sungai terpendek di Dunia dengan panjang 20 m dan lebar 15 m.
4. Objek Wisata Goa Firdaus
Terletak diketinggian kurang lebih 200 mdpl Goa firdaus merupakan salah satu obyek wisata petualangan yang ada di lokasi taman wisata air panas Ulunggolaka.

IV.       UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN
            Upaya penanggulangan kemiskinan telah sejak lama dilakukan baik oleh masyarakat Dunia, maupun pemerintah Indonesia. untuk pemerintah indonesia, upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan maupun program-program yang berpihak pada masyarakat seperta diluncurkannya program PNPM yang diluncuran oleh pemerintah pada tanggal 31 Agustus 2006. Sedangkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara juga melakukan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dengan menjadikan Program Penanggulangan Kemiskinan menjadi sebuah Visi, misi Pemerintahan yaitu Membangun Kesejahteraan Masyarakat (BAHTERAMAS).
B.        Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin
            Program pemberdayaan masyarakat miskin harus dirancang berdasarkan analisa yang mendalam tentang kemiskinan dan faktor sosial ekonomi lainnya. Dalam konteks Indonesia dan negara berkembang lainnya, masyarakat menjadi miskin bukan karena malas, melainkan karena produktifitasnya rendah. Produktivitas yang rendah itu diakibatkan oleh kurangnya akses dalam bidang ekonomi ( modal ), kesehatan dan pendidikan. Tertutupnya akses masyarakat miskin dalam berbagai bidang terutama ekonomi, kesehatan dan pendidikan menyebabkan mereka sulit melakukan mobilitas vertikal dan terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Masyarakat miskin tidak punya sumberdaya ekonomi (uang) atau dengan kata lain pendapatannya rendah. Pendapatan rendah menyebabkan tingkat kesehatan dan pendidikan rendah, sehingga produktivitasnya pun rendah. Produktivitas rendah berdampak pada pendapatan yang rendah pula begitu juga seterusnya.
            Jadi, salah satu jalan pengentasan kemiskinan adalah dengan cara memutus mata rantai kemiskinan tersebut. Dan salah satu caranya adalah dengan membuka akses modal kepada masyarakat miskin sehingga mereka dapat meningkatkan pendapatan sekaligus mengakumulasi modalnya hingga semakin meningkat secara gradual, pada akhirnya kesejahteraan akan meningkat. Kesejahteraan yang meningkat akan meningkatkan pula tingkat pendidikan dan kesehatan dan seterusnya.
C.        Program Pengembangan UKM
            Salah Satu upaya dalam penanggulangan kemiskinan adalah dengan adanya Program Pengembangan UKM. Seperti yang dikatakan para ahli. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi. dengan adanya program UKM masyarakat dapat memperoleh bantuan dari pemerintah dalam hal pengembangan Usaha Kecil yang dikelola oleh masyarakat agar tidak terjadi kekurangan permodalan ataupun devisit anggaran usaha mereka.
            Masyarakat di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara selayaknya dapat hidup berkecukupan jika program-program pengentasan kemiskinan dapat terakomodir secara baik. dengan adanya potensi ekonomi yang dimiliki oleh wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara baik dari Sektor Kependudukan maupun Sumber Daya Alam yang dapat dikelola. Pengembangan Usaha Kecil Masyarakat dapat memberikan solusi terhadap upaya penanggulangan kemiskinan khususnya di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. berbagai strategi dapat dilaksanakan oleh pemerintah maupun swasta untuk pengembangan UKM guna penanggulangan kemiskinan yaitu Penciptaan iklim usaha yang seluas-luasnya bagi UKM untuk dapat menjalankan kegiatan. Aspek  ini meliputi penyempurnaan sistem perundang-undangan dan  kebijakan sektoral, dan perlu mendapat dukungan peraturan daerah, penyederhanaan perijinan (pelayanan satu atap) dan upaya penegakan hukum penciptaan iklim usaha  juga menuntut peningkatan kemampuan aparatur pemerintah agar mampu berperan sebagai famililator bagi UKM, Memperluas akses UKM terhadap sumber daya produktif agar mampu memanfaatkan  potensi setempat, terutama sumber daya alam.
 V. PENUTUP
            Sumber daya alam, dimana dapat diketahui bersama mempunyai banyak hal yang terkandung didalamnya, baik unsur biotik maupun unsur abiotik. Yang mana subjek-subjek tersebut memiliki potensi ekonomi cukup besar apabila dalam pengelolaannya disertai dengan perencanaan yang matang. Sehingga didapat hasil yang optimal dari suatu kegiatan ekonomi yang terus berkelanjutan.
            Provinsi Sulawesi Tenggara yang memiliki jumlah penduduk sekitar 2,2 Juta Jiwa merupakan suatu potensi tersendiri jika jumlah tersebut diikuti dengan besarnya jumlah penduduk yang memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan tinggi. Sebagaimana telah di terangkan pada poin Gambaran Umum Wilayah, Wilayah Provinsi sulawesi Tenggara memiliki Potensi ekonomi yang cukup luas untuk dikembangkan, baik dari sektor pertambangan, pertanian maupun sektor pariwisata. Selain kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk pengembangan Ekonomi, upaya penanggulangan kemiskinan juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan kegiatan-kegiatan pelatihan maupun pendidikan formal terhadap pengelolaan sumber daya alam di wilayah provinsi sulawesi tenggara.
             Untuk mengatasi masalah sumber daya manusia yang ditemui selama ini tentunya perlu dilakukan upaya peningkatan mutu sumber daya manusia, termasuk peningkatan mutu masyarakat miskin itu sendiri. Sebagai salah satu contoh upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan Sekolah Tinggi Pariwisata maupun Sekolah Tinggi Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara yang menurut penulis belum adanya sentuhan pemerintah dalam hal pengembangan pusat pendidikan tersebut hal ini ditandai dengan kurangnya minat masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara menjadikan sekolah tersebut sebagai target andalan mengemban pendidikan lanjutan maupun penguatan minat serta potensi masyarakat.

DAFTAR BACAAN
 BPS, 2010. Sulawesi Tenggara Dalam Angka.
http://www.cps-sss.org/web/home/propinsi/prop/Sulawesi+Tenggara
Kartasasmita, Ginanjar. (1996). Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES, Jakarta.
Kusnadi, Rahmat, 2010. Optimalisasi Pemanfaatan Potensi Ekonomi Sumber Daya Alam. rahmatkusnadi6@yahoo.co.id.
World Friend Indonesia, 2010. Provinsi Sulawesi Tenggara. Friday, 15 January 2010

Penguatan Modal Berbasis Masyarakat

Penguatan modal bagi warga miskin merupakan tantangan terbesar dalam upaya peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat miskin di Indonesia. Betapa banyak program-program pemerintah telah digulirkan untuk peningkatan kesejahteraan, tetapi hanya menyentuh pada dataran warga miskin yang membutuhkan. Kebingungan demi kebingungan yang menjadi hambatan besar bagi warga miskin untuk meningkatkan kesejahteraan adalah persepsi umum yang telah berkembang dimasyarakat bahwa warga miskin adalah warga yang harus dibantu karena dianggap sebagai penyandang masalah sosial. Ini adalah pandangan negative pada warga miskin yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Warga miskin adalah warga yang sama kedudukannya dimasyarakat dan bukan sebagai penyandang masalah sosial. Warga miskin memiliki peran penting dalam pembangunan di masyarakat yang selama ini seolah-olah tidak di akui perannya. Peran ini hampir menelusup ke berbagai bidang dan sector kehidupan yang teramat sulit untuk dikerjakan oleh hampir setiap orang. Mereka bekerja di tempat-tempat yang penuh tantangan dan bahaya dengan gaji yang sangat minim.Sungguh luar biasa !  

Penguatan modal bagi masyarakat (khususnya masyarakat miskin) hendaklah menjadi perhatian serius bagi para pelaku pemberdayaan masyarakat. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Baitul Maal wa Tamwil atau Balai usaha Mandiri Terpadu (BMT), Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) melalui program Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), ataupun para pekerja sosial sebagai relawan professional yang biasa mendukung pemberdayaan masyarakat miskin. Mengapa mereka ini harus mendapat perhatian serius. Ada beberapa alasan yang menyebabkan hal ini harus menjadi perhatian serius;

Pertama; masyarakat miskin adalah masyarakat yang termarginalkan dari sisi ekonomi. Memang masyarakat miskin bekerja di berbagai sektor, misalnya, pertambangan pasir, pertambangan batu kali, pemecah batu, profesi tukang batu, tukang kayu, gardener, Cleaning Service, tukang parkir, tukang tambal ban, tukang pembersih ruput kuburan (seperti di Jakarta), penggali kubur, pembersih got dan lain-lain. Semua itu dibutuhkan oleh setiap orang. Namun kadang-kadang ada juga yang memicingkan mata terhadap tugas-tugas tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana seandainya mereka para tukang itu ngambek dan tidak mau kerja. Atau menuntut pekerjaan yang lebih layak dari pada yang selama ini mereka kerjakan. Barangkali dunia akan menjadi kotor, semrawut, bau tidak enak dan lain-lain termasuk mungkin (maaf) menjijikan. Oleh karena itu aksi-aksi mereka dalam beraktifitas haruslah di hargai. Kalau kita tidak bisa menghargai dengan peningkatan upah, minimal sering diberi bonus tambahan agar mereka bisa bekerja dengan maksimal.

Mereka sangat dibutuhkan perusahaan tetapi bukan sebagai leader. Mereka bekerja ditempat-tempat yang kotor yang tidak setiap orang mau mengerjakannya. Seperti sebagai tukang sampah, pembersih got-got/selokan yang kotor. Bekerja di apartemen-apartemen mewah sebagai tukang cat yang memiliki beban dan resiko yang berat, bahkan kadang harus berhadapan dengan resiko kematian. Tidak ada orang yang mau bekerja dengan beban yang berat dan gaji yang kecil kecuali mereka yang miskin.

Kedua, masyarakat miskin adalah masyarakat yang dilihat dari sisi pendidikan rata-rata rendah. Mereka tidak mampu mengembangkan pemikiran lebih luas, karena selama ini yang dihadapi hanya itu-itu saja. Jarang diantara mereka yang berpendidikan rendah memiliki wawasan luas. Kalau toh ada prosentasenya cukup kecil.  Biasanya yang sedikit ini mampu mengembangkan potensi diri karena memiliki keuletan yang luar biasa dan tidak takut untuk jatuh terpuruk. Bagi mereka yang ulet, keterpurukan bukanlah akhir dari sebuah usaha, tetapi pemicu untuk belajar dari kegagalan sehingga dari pengalaman kegagalan yang pernah di alaminya, ada optimisme untuk tidak mengalami kegagalan yang kedua kalinya.

Memang tidak ada kaitannya langsung antara pendidikan dan kesejahteraan. Namun biasanya kaitan yang terjadi itu tidak berdampak secara langsung. Artinya dengan pendidikan tinggi yang dimiliki, seseorang mampu mengembangkan ide-ide segarnya untuk meningkatkan kesejahteraan. Sebenarnya hanya kebiasaan pola hidup disiplin dan beranilah yang mampu mengubah diri menuju kesejahteraan. Jadi tidak ada jaminan bahwa dengan pendidikan tinggi kesejahteraan seseorang otomatis menjadi tinggi pula. Tergantung dari disiplin, kemauan  dan keberanian yang dimiliki seseorang yang akan mampu mengubah nasib seseorang menjadi lebih sejahtera. Orang yang memiliki pendidikan rendah sebenarnya juga memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan kesejahteraan, karena kesejahteraan tidak tergantung pada tingkat pendidikan.

 Betapa banyak lulusan perguruan tinggi, dari diploma hingga sarjana, dari pendidikan D2, D3, S1 hingga S2 namun beberapa tahun masih mencari lapangan kerja. Lamar sana lamar sini, mencari lowongan setiap hari dari media surat kabar, browsing internet,berdesak-desakan mendapatkan informasi bursa kerja, CPNS dan lain-lain. Waktu yang lama ia gunakan hanya untuk menunggu pengumuman diterima menjadi tenaga kerja di sebuah perusahaan. Waktu, tenaga, dana ia gunakan untuk melengkapi berkas-berkas persyaratan, pas foto, foto copy ijazah, legalisir ijazah, mencari kartu kuning dengan berdesakan, mencari Surat Keterangan Kelakuan Baik dari kepolisian dan lain-lain. Ratusan bahkan ribuan pelamar memperebutkan formasi lowongan yang diperuntukkan hanya untuk beberapa orang saja. Perasaan kecewa, sedih, bercampur jengkel menghantui hati mereka ketika tidak diterima menjadi karyawan perusahaan atau CPNS. Hal seperti ini menggejala di kalangan masyarakat kita, tidak membedakan golongan miskin atau kaya.

Tetapi ada sebagian kecil warga masyarakat miskin yang mau berusaha tanpa memikirkan peluang-peluang menjadi karyawan sebuah perusahaan atau pegawai negeri. Padahal kalau sebagian besar masyarakat yang terlibat dalam pencarian lowongan kerja itu mau menggunakan waktu, tenaga dan dana dengan sebaik-baiknya ia bisa menggunakan sebagai modal untuk mengembangkan usaha sendiri. Bukankah Stan Shich seorang pengusaha terkenal pendiri Acer pernah mengungkapkan sebuah pernyataan bahwa,”Menjadi kepala seekor ayam lebih baik dari pada menjadi buntut seekor sapi.” Arti dari ungkapan ini kira-kira begini “lebih baik menjadi direktur diperusahaan sendiri walaupun kecil dari pada menjadi karyawan di perusahaan besar” Usaha sendiri walaupun kecil adalah lebih baik, karena bebas tidak terikat pada waktu kapan harus bekerja, tidak terikat pada tempat dimana harus bekerja, Terserah bagaimana ia mengembangkan usahanya tanpa dituntut target harus mendapatkan berapa customer dan berapa penghasilannya. Ia bisa menentukan berapa penghasilan yang diharapkan dalam sebulan yang ia mau. Tentunya penghasilan besar harus didiringi dengan ikhtiar yang besar pula.

Memang belajar di perguruan tinggi bagi seseorang merupakan harapan dan cita-cita yang luhur dan dambaan bagi setiap orang tua. Minimal dengan pendidikan tinggi dan gelar sarjana yang disandangnya, seseorang memiliki bekal wawasan yang lebih luas dan kemudahan didalam menjalankan manajemen organisasi usaha, kalau mereka mau membuka usaha sendiri.

Pendidikan tinggi yang tidak menyiapkan mahasiswanya untuk berwirausaha mendorong adanya peningkatan pengangguran intelektual. Sehingga ada seseorang yang dari sisi pendidikan cukup tinggi tetapi kesejahteraan hidup tidak diperolehnya, karena tidak memiliki life skill yang diperlukan sebagai bekal menjalani kehidupan untuk medapatkan kesejahteraan

Adapula sebaliknya ada orang yang dari sisi pendidikan rendah  bahkan tidak mengenyam pendidikan formal sama sekali tetapi dengan keuletan, dan semangat belajar yang tinggi untuk maju, ia mengalami kuantum yang luar biasa dalam mendapatkan kesuksesan di dunia. Memang harus di akui bahwa kebanyakan masyarakat miskin itu dari sisi pendidikan, rata-rata berpendidikan rendah. Adanya pembelajaran life skill kepada mereka harus ditumbuhkan. Tentunya ini tidaklah semudah membalik telapak tangan, perlu pembelajaran, contoh, dan praktek yang terus menerus .

Ketiga, masyarakat miskin adalah masyarakat yang sulit untuk mendapatkan akses perbankan. Perbankan tidak mau mengambil resiko terlalu besar untuk menggulirkan dananya tanpa ada agunan. Orang miskin adalah orang yang tidak memiliki agunan untuk dijaminkan kepada bank. Jangankan agunan untuk pinjaman, untuk membiayai hidup sehari-hari saja terasa susah. Sehingga wajar apabila orang miskin  susah untuk mendapatkan akses perbankan.

Kalau toh seandainya ia mendapatkan kredit dengan tingkat suku bunga yang rendah (misalnya 0,5%/tahun seperti yang ditawarkan salah satu BUMN di Yogyakarta dalam program PKBL (Proyek Kemitraan dan Bina Lingkungan)), dengan pengamatan dan informasi yang dimilikinya seolah-olah itu sangat berat dan membebani kecuali mereka yang sudah memiliki




Sumber : 
http://pistaza.wordpress.com/2011/10/08/penguatan-modal-berbasis-masyarakat/

Mengapa LSM Membutuhkan Kode Etik?



LSM bukanlah sekedar mendirikan organisasi bernama yayasan untuk mendapatkan proyek-proyek pemerintah atau pun keuntungan-keuntungan ekonomi atau politik. LSM didirikan dengan tujuan-tujuan yang lebih ideal yaitu perwujudan dari semangat filantropi dan altruisme.

Dengan filantropi dimaksudkansebagai "mencintai (sesama) umat manusia, dengan memberikan bantuan kepada yang membutuhkan"; dan altruismedengan "menaruh perhatian dan kepedulian terhadap orang lain atau kemanusiaan". Dengan perkataan lain apapun program atau bentuk kegiatan yang diselenggarakan LSM ia harus dilandasi oleh nilai-nilai ideal yang dirumuskan dalam bentuk visi, misi dan tujuan-tujuan organisasi lainnya. Nilai-nilai ini disebut dengan nilai-nilai moral.

1. Latar Belakang

Dipulihkannya kebebasan-kebebasan dasar warganegara seperti kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat telah menandai era kebangkitan masyarakat sipil (civil society). Sebagai salah satu komponen terpenting masyarakat sipil, ribuan LSM baru telah muncul di berbagai daerah dengan maksud untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga publik lainnya atau untuk ikut mengambil bagian dalam membantu berbagai kelompok masyarakat miskin dan marginal lainnya.

Keterlibatan LSM dalam membantu rakyat marginal dilakukan melalui program-program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat yang disusun kalangan LSM sendiri dengan bantuan dana dari para donor atau bekerjasama dengan pemerintah melalui berbagai program jaring pengaman sosial dan lain-lain. Keterlibatan LSM dalam program-program pengurangan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat ini dimungkinkan dengan adanya kebijakan pemerintah dan lembaga donor yang memberikan tempat bagi LSM untuk ikut mengambil bagian dalam berbagai program pemerintah, khususnya yang berhubungan dengan pengurangan kemiskinan.

Namun demikian, situasi kebebasan tanpa didukung adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai prinsip-prinsip keberadaan dan operasionalisasi LSM juga telah menimbulkan berbagai dampak negatif yang pada gilirannya dapat merugikan citra LSM secara keseluruhan. Antara lain adalah munculnya yayasan-yayasan[1] yang kemudian diberi label LSM yang didirikan oleh aparatur pemerintah (pegawai negeri), kalangan pengusaha atau pun oleh anggota masyarakat sendiri dengan motivasi mencari keuntungan ekonomi atau politik semata.

Persoalannya adalah bahwa "booming" yayasan berlabel LSM, LSM yang hanya bertujuan mencari keuntungan ekonomi atau politik, serta penyalahgunaan yang dilakukan sementara kalangan LSM: di masa depan akan dapat merusak citra LSM secara keseluruhan. Citra yang terbentuk ini dapat dipakai oleh lembaga-lembaga lain: apakah itu pemerintah, kalangan legislatif, kalangan yudikatif atau pun partai politik sebagai counter-attack yang akan memojokkan atau mendiskreditkan komunitas LSMsecara keseluruhan. Serangan ini juga pada gilirannya akan dapat mengganggu kepentingan-kepentingan LSM dalam berhubungan dengan pemerintah atau pun dengan lembaga-lembaga donor.

Komunitas LSM yang banyak mengkritisi perbuatan-perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan pejabat-pejabat pemerintah, tampaknya tidak dapat berbuat apa-apa terhadap berbagai tindakan yang dapat merugikan citra dan integritas LSM secara keseluruhan tersebut kecuali menyerahkannya kepada proses hukum. Sehingga terkesan bahwa LSM mempunyai "standar ganda". Salah satu penyebabnya adalah belum adanya rumusan norma-norma moral yang disepakati bersama mengenai apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah, yang dijadikan pedoman perilaku LSM dalam bertindak ke dalam mau pun ke luar.

2. Apa, siapa dan bagaimana LSM

LSM tidaklah identik dengan yayasan. Yayasan adalah salah satu bentuk badan hukum yang kebetulan dipilih oleh sebagian besar LSM. Tidak semua yayasan dapat dikategorikan sebagai LSM sebagaimana halnya tidak semua LSM berbadan hukum yayasan, karena ada LSM yang mempunyai badan hukum perkumpulan.

Salah satu perbedaan penting yang perlu diperhatikan antara sebagian yayasan dengan LSM adalah bahwa: LSM ada dasarnya didirikan untuk keuntungan publik atau segmen masyarakat yang lebih luas (public benefit). Sedangkan yayasan ada yang didirikan untuk melayani kepentingan yang terbatas, misalnya kepentingan anggota-anggotanya saja. Yayasan Kostrad misalnya didirikan untuk melayani tentara yang menjadi anggota Kostrad. Demikian pula Yayasan Karyawan BULOG dan berbagai yayasan karyawan lainnya didirikan untuk kepentingan anggota-anggotanya saja(mutual benefit).Demikian pula ada perkumpulan yang hanya melayani anggota-anggotanya. Perkumpulan dokter (Ikatan Dokter Indonesia) atau akuntan (Ikatan Akuntan Indonesia) tidak pula dapat disebut sebagai LSM. Tetapi mereka tetap merupakan bagian dari masyarakat sipil (civil society).

Sebagaimana dikemukakan di atas, apa yang sangat populer dikenal dengan istilah LSM di Indonesia sesungguhnya adalah pengganti istilah non-governmental organizations (NGO). Istilah ini diperkenalkan pada awal tahun 1980-an, karena istilah NGO dapat menimbulkan kesan dan interpretasi sebagai "anti pemerintah", sesuatu yang tidak disukai rezim orde baru pada waktu itu. Karena itu sekarang ini sebagian LSM dengan sadar kembali mengembangkan istilah Ornop (Organisasi Non-Pemerintah), terutama oleh kalangan LSM yang bergerak dalam advokasi terhadap pemerintah. Namun demikian, dalam berbagai pertemuan informal atau formal, diskusi, seminar, lokakarya serta pemberitaan pers, dan sebagainya istilah LSM tetap lebih banyak dipergunakan.

Dalam berbagai definisi yang umum diterima, istilah LSM menunjuk kepada beberapa bentuk organisasi atau kelompok dalam masyarakat yang secara hukum bukan merupakan bagian dari pemerintah (non-pemerintah) dan bekerja tidak untuk mencari keuntungan (non-profit) yang akan dibagi-bagikan kepada pendiri atau pengurus-pengurus, seperti yang dikenal dalam dunia perusahaan sebagai dividen.

Istilah ini sekaligus menempatkan LSM sebagai "sektor ketiga" dalam tiga sektor model kehidupan manusia moderen, yaitu sektor negara (state), pasar (market) dan masyarakat sipil (civil society).

Ke dalam ranah OMS selain LSM dapat dimasukkan berbagai organisasi/kelompok yang ada di dalam masyarakat seperti organisasi kemasyarakatan (Ormas), Organisasi sosial (Orsos), Organisasi sosial-keagamaan, organisasi pendidikan, kesehatan, organisasi profesi, kelompok swadaya masyarakatdan sebagainya.

Dari berbagai uraian di atas dapat dirumuskan beberapa kata kunci untuk merumuskan karakteristik dari LSM.

1. Bersifat non-pemerintah(non governmental). LSM yang didirikan secara hukum tidak mempunyai kaitan dengan organisasi negara atau pemerintahan.

2. Mempunyai asas kesukarelaan (voluntary). LSM didirikan dengan mengandung unsur-unsur kesukarelaan. Misalnya ada sejumlah orang (apakah itu sekelompok banyak orang atau sekelompok kecil orang) yang mendirikan LSM dengan menyediakan waktunya secara sukarela (tanpa dibayar) untuk kepentingan organisasi tersebut.

3. Tidak untuk mencari keuntungan(non-profit, not-for profit). LSM tidak didirikan untuk mencari profit yang dibagi-bagikan bagi pendiri-pendiri atau pengurus-pengurusnya. Kendati demikian LSM dapat saja mempunyai pegawai (eksekutif, staf program, staf pendukung, dan lain-lain) yang dibayar dalam bentuk gaji/benefit/kompensasi lainnya untuk tugas-tugas yang mereka kerja. Tetapi tetap ada sejumlah orang yang menjadi pendiri atau pengurus (board of directors) yang tidak menerima gaji, melainkan hanya sekedar penggantian atas pengeluaran-pengeluaran yang mereka lakukan dalam pelaksanaan tugas-tugas dalam melayani organisasi (uang transpor, dsb.).[2]

4. Tidak untuk melayani diri sendiri atau anggota-anggota(self-serving). LSM didirikan untuk melayani kepentingan masyarakat, kaum miskin, kaum dhuafa, kaum yang tersingkirkan, kaum yang terlanggar hak-haknya sebagai warga masyarakat yang tidak mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya atau menggapai hak-haknya secara penuh melalui tindakan-tindakan langsung atau tidak langsung. LSM juga menyuarakan kepeduliannya terhadap berbagai kebijakan dan tindakan pemerintah menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat secara keseluruhan.

3. Apa itu kode etik?

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa LSM didirikan jauh lebih daripada sekedar mendirikan organisasi bernama yayasan untuk mendapatkan proyek-proyek pemerintah atau keuntungan-keuntungan ekonomi atau politik. LSM didirikan dengan tujuan-tujuan yang lebih ideal yaitu perwujudan dari semangat filantropi (philanthropist) dan altruisme(altruism). Dengan filantropi dimaksudkan "mencintai (sesama) umat manusia, dengan memberikan bantuan kepada yang membutuhkan", dan dengan altruisme dimaksudkan "menaruh perhatian dan kepedulian terhadap orang lain atau kemanusiaan". Dengan perkataan lain apapun program atau bentuk kegiatan yang diselenggarakan LSM ia dilandasi oleh nilai-nilai ideal yang dirumuskan dalam bentuk visi, misi dan tujuan-tujuan organisasi lainnya. Nilai-nilai ini disebut dengan nilai-nilai moral.

Hal ini membawa kita kepada sesuatu yang disebut dengan kode etik. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan kode etik(code of ethics, code of conducts itu.Kode Etik berasal dari kata code yang dapat diterjemahkan sebagai kumpulan aturan dan ethics yang berarti prinsip-prinsip moral.

Dengan Kode Etik dimaksudkan adalah kumpulan aturan yang berisikan prinsip-prinsip moral yang diyakini sebagai yang benar atau salah, baik atau buruk, untuk dilakukan.

Etik dapat dibedakan atas etik personal (personal ethics) dan etik sosial(social ethics). Etik personal mengandung pengertian bagaimana seseorang bertindak atau berperilaku terhadap dirinya sendiri, sedangkan etik sosial adalah bagaimana bertindak atau berperilaku terhadap orang lain. Keduanya dapat dibedakan dalam pengertian bahwa etik personal adalah kewajiban terhadap diri sendiri dan etik sosial merupakan kewajiban terhadap orang lain

4. Mengapa LSM membutuhkan kode etik?

Nilai-nilai moral sebagaimana dikemukakan di atas perlu diperjuangkan kepada pihak luar dan ke dalam diri LSM sendiri. Kepada pihak luar seperti misalnya kepada pemerintah, donor, kalangan swasta, kelompok masyarakat yang menjadi partisipan program maupun publik yang lebih luas, LSM perlu selalu mempromosikan tujuan keberadaannya dan kepentingan-kepentingannya sehingga visi, misi dan nilai-nilai yang dianut oleh LSM dapat diakomodir oleh pihak luar tersebut. Sedangkan ke dalam komunitas LSM perlu menjaga bahwa nilai-nilai moral yang diperjuangkan tersebut tidak dirusak oleh satu atau segelintir LSM atau "organisasi lain yang menamakan dirinya LSM" sehingga dapat merusak integritas dan kredibilitas LSM secara keseluruhan yang pada gilirannya dapat menimbulkan citra negatif LSM. Sebab bagaimana pun juga aktivitas LSM adalah sesuatu yang rentan terhadap penyalah-gunaan.

Adanya kode etik yang disepakati bersama, diimplementasikan bersama dan diawasi bersama akan memberikan berbagai keuntungan kepada komunitas LSM secara keseluruhan dalam membangun integritas dan kredibilitas LSM kepada pihak luar. Sekurang-kurangnya pihak luar melihat LSM juga peka terhadap perbuatan-perbuatan tercela yang dapat menimpa dirinya atau tidak mempergunakan "standar ganda" dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitasnya.

Adalah merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa LSM dewasa ini sangat aktif dalam menelanjangi berbagai praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan aparat pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya. Memperjuangkan good governance memang merupakan sesuatu yang harus dilakukan oleh LSM. Sementara itu ada praktek-praktek yang kurang baik yang dilakukan segelintir LSM yang mungkin karena solidaritas sesama kawan atau karena belum ada organisasi yang berwenang untuk itu masih didiamkan begitu saja. Sikap ini akan dapat dipakai oleh pemerintah dan lembaga-lembaga negara untuk memukul balik LSM. Misalnya dengan mengembangkan opini publik bahwa LSM sama saja dengan lembaga-lembaga lain.

Salah satu faktor lain adalah perkembangan global. Bahwa keberadaan LSM yang sehat dan kuat dalam arti didirikan secara sukarela, tidak beorientasi kepada keuntungan ekonomi, independen terhadap pemerintah, dikelola secara transparan, demokratis, akuntabel dan beorientasi kepada dan mewakili kepentingan masyarakat, sebenarnya sudah lama menjadi kepedulian berbagai pihak di dunia internasional.

Salah satu aspek yang menjadi perhatian dunia internasional adalah terciptanya good governance yang diterjemahkan menjadi tata-pemerintahan/tata-pengurusan yang baik. Ada kecenderungan pengertian bahwa good governance sama dengan good government atau pemerintah yang baik. Pengertian governance jauh lebih luas karena bisa termasuk kelompok swasta yang misalnya dikenal dengan istilah corporate governance mau untuk kalangan organisasi masyarakat sipil (termasuk LSM). Salah satu yang menjadi perhatian donor adalah terciptanya good NGO governance.

Dalam suatu konferensi internasional untuk mendukung sektor nirlaba di Asia[3] dalam salah satu rekomendasinya mengusulkan agar pemerintah negara-negara Asia dan LSM perlu bekerjasama untuk mengeksplorasi kemungkinan penerapan ketentuan untuk "mengatur diri sendiri" (self-regulation) yang dilakukan oleh dan bagi kalangan LSM sendiri.

Ada dua bentukself-regulation: pertama upaya yang dilakukan oleh sebuah LSM untuk mengatur dirinya sendiri atau individu-individu yang menjadi anggotanya; dan kedua upaya sekelompok LSM dalam menyusun norma-norma bagi semua LSM yang akan dijadikan pegangan bersama ke dalam dan ke luar, misalnya yang berisikan norma-norma mengenai praktek-praktek yang baik (good practices) yang dapat dijadikan acuan bagi komunitas LSM sebagai suatustandards for good governance. Standar ini misalnya antara lain dapat berisikan dasar-dasar filosofi dan prinsip-prinsip yang dianut dalam melaksanakan kegiatannya, dalam berhubungan dengan pihak luar seperti pemerintah dan para donor dan kelompok sasarannya serta prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi.Dasar pemikiran dariself-regulation ini adalah bahwa LSM perlu didorong untuk mengatur dirinya sendiri agar dapat dihindarkan campur-tangan negara (state) yang berlebih-lebihan.

Bahkan dalam program-program bantuan para donor kepada LSM sekarang ini masalah-masalah yang berhubungan dengan governance reform termasuk salah satu fokus penting dari banyak donor yang membantu civil society di Indonesia. Sejumlah donor telah memberikan bantuan untuk membangun kapasitas organisasi dan kelembagaan demi terciptanya LSM yang efektif, efisien, profesional, transparan dan akuntabel.

Di pihak lain dengan keterlibatan pemerintah dan terutama lembaga-lembaga donor yang membantu serta meminta LSM untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance diberlakukan dalam praktek-praktek kegiatan LSM, maka tampaknya sudah waktunya pula kalangan LSM untuk mempertimbangkan perlunya untuk mempunyai suatu standar moral dan etika yang dikenal dengan nama kode etik. Kode etik ini akan berisikan prinsip-prinsip moral yang akan menjadi pegangan LSM yang akan menjadi pegangan LSM dalam mengatur perilakunya ke dalam dan dalam berhubungan dengan pihak-pihak luar. Adanya kode etik ini akan menunjukkan bahwa kalangan LSM cukup sensitif terhadap kemungkinan disalahgunakan dan untuk menunjukkan nilai-nilai yang mereka anut.

Agar LSM dapat dihargai dan dihormati oleh pihak luar dan mempunyai akses yang lebih baik terhadap sumberdaya dari luar di masa-masa yang akan datang, akan semakin ditentukan oleh bagaimana pihak-pihak di luar LSM tersebut melihat LSM telah bekerja secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel berdasarkan nilai-nilai moral.

Adanya Kode Etik bukanlah sesuatu yang khas dalam arti hanya dibutuhkan LSM Indonesia. Di dalam percaturan NGO internasional banyak sekali organisasi/jaringan-organisasi NGO yang mempunya kode etik. Antara lain misalnya dapat dikemukakan sepertiCanadian Council for International Cooperation (CCIC) di Kanada, CODE-NGO di Filipina, Australian Council for International Development (ACFID) di Australia dan di banyak negara lain.

5. Hubungan antara LSM dengan Pemerintah, Lembaga Donor dan Sektor Swasta

Kalau lembaga-lembaga penyandang dana dan pemerintah, sebagaimana dikemukakan di atas berkepentingan dengan LSM yang mampu bekerja efektif, efisien, transparan dan akuntabel, maka LSM juga mempunyai kepentingan-kepentingan baik yang bersifat ideal atau pun material terhadap pihak-pihak tersebut yang perlu dipromosikan, dibela dan dilindungi dalam berhdapan dengan pihak luar.

Dalam hal kepentingan terhadap pihak luar, dapat saja terjadi perbedaan kepentingan antara LSM-LSM advokasi dengan LSM-LSM yang bergerak dalam pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam keterlibatannya di proyek-proyek yang disponsori pemerintah, LSM pembangunan misalnya mengembangkan nilai-nilai bahwa setiap orang mempunyai hak untuk ikut serta dalam pembangunan sebagai salah satu hak asasi manusia yang melekat dan tidak dapat dihilangkan. Setiap orang baik secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dapat menyumbang kepada pembangunan sosial, ekonomi, kultural dan politik bangsanya. Sehubungan dengan nilai-nilai yang dianut itu LSM yang bergerak dalam pembangunan atau pengembangan masyarakat akan memperjuangkan bahwa LSM mempunyai hak untuk terlibat dalam program-program pembangunan sebagai mitra pemerintah yang setara serta mempunyai hak untuk memperoleh akses pendanaan tanpa mengorbankan otonomi dan independensi mereka. Di pihak lain, LSM-LSM yang bergerak dalam advokasi perubahan kebijakan seringkali menolak keterlibatan mereka dalam proyek-proyek pemerintah agar kampanye mereka akan lebih efektif atau untuk menghindari agar tidak "terkooptasi" oleh pemerintah.

Terlepas dari berbagai kepentingan yang berbeda tersebut secara umum apa yang diharapkan oleh LSM terhadap pihak luar dapat dikemukan sebagai berikut:

Hubungan dengan pemerintah

Dalam berhubungan dengan pemerintah kepentingan yang paling pokok diperjuangkan adalah agar pemerintah dengan kebijakannya menciptakan iklim dan lingkungan yang kondusif dengan memberikan ruang-gerak dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi LSM untuk beroperasi dengan berkembang. Untuk itu di butuhkan antara lain sebagai berikut:

Pertama,jaminan konsitusional berupa kebebasan berserikat bagi bagi setiap warganegara.

Kedua, adanya pengakuan yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah bahwa LSM dapat bekerja secara independen dengan berbagai kegiatannya pada tingkat lokal, regional, nasional dan internasional tanpa hambatan.

Ketiga, menjamin akses LSM terhadap sumberdaya dari berbagai sumber untuk melaksanakan kegiatannya: dari pemerintah sendiri, lembaga-lembaga penyandang dana internasional dan domestik, sektor swasta, donasi publik serta individual.

Keempat,pemerintah dari waktu ke waktu harus melakukan konsultasi dengan LSM yang dilandasi dengan semangat kemitraan (partnership). Perumusan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi kerja dan kepentingan LSM harus dilakukan melalui konsultasi serta pemberian informasi kepada kalangan LSM terlebih dahulu. Mekanisme ini dapat dilakukan misalnya dengan cara: (1)menciptakan "focal point" hubungan antara pemerintah dengan LSM untuk memfasilitasi kontak-kontak antara LSM dengan Pemerintah. (2) Menjamin keterwakilan LSM dalam berbagai kelompok kerja dan komite kerja pemerintah yang relevan dengan kepentingan bersama LSM. (3) Adanya pertemuan-pertemuan konsultatif antara pemerintah dalam suatu forum di mana pemerintah dan LSM dapat duduk bersama dalam perumusan program-program pemerintah.

Kelima, memberikan akses sumberdaya kepada LSM dalam bentuk hibah (grant) atau kontrak-kontrak yang caranya disesuaikan dengan kepentingan LSM yang tidak akan menghilangkan independensi dan tidak mendistorsi tujuan LSM itu sendiri. Pemerintah juga dapat mendorong dana dari sektor swasta kepada LSM dengan memberikan insentif berupa penghapusan atau pengurangan pajak bagi keuntungan mereka yang dihibahkan kepada LSM. Memberikan bantuan untuk meningkatkan kualitas kerja LSM, misalnya meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial LSM.

Hubungan dengan lembaga-lembaga penyandang dana

Sebagaimana halnya dengan pemerintah, dalam berhubungan dengan lembaga-lembaga penyandang dana, pertama-tama LSM berkepentingan bahwa, kebijakan dan tindakan lembaga donor sebagai institusi yang menyediakan dana dan LSM sebagai yang memperoleh dana, selalu didasarkan atas filosofi dan kebijakan yang bersemangat kemitraan, sikap saling-menghormati, karena pada dasarnya keduanya mempunyai visi dan tujuan yang sama.

Karena itu, kedua, LSM berkepentingan agar lembaga dana dalam merumuskan kebijakan pemberian dananya perlu memberikan konsultasi dan informasi secara jelas mengenai semua hal yang berhubungan dengan pendanaan: seperti strategi dan prioritas program, kriteria LSM yang dapat memperoleh dana, dan sebagainya.

Ketiga, LSM berkepentingan bahwa lembaga penyandang dana berbuat transparan dalam menjelaskan berbagai hal yang berhubungan dengan misi, sasaran, kebijakan, aktivitas, cara-cara pengambilan keputusan serta metode dan prosedur untuk mendapatkan dana.

Hubungan dengan sektor swasta

Bagaimana pun juga sektor swasta sesungguhnya dapat merupakan salah satu potensi pendanaan bagi kegiatan LSM. Masalahnya adalah bagaimana cara-cara atau mekanisme pemberian bantuan tersebut dapat berlangsung secara transparan dan akuntabel. Meski pun sampai sekarang secara umum hubungan antara kalangan LSM dengan sektor swasta belumbegitu baik terutama karena kaitan antara kaum konglomerat di masa lalu yang sangat dekat dengan kekuasaan, besarnya tingkat kolusi antara sektor swasta dengan pemerintah serta banyaknya aktivitas sektor swasta yang merugikan masyarakat dan merusak lingkungan namun, namun dewasa ini di banyak negara semakin banyak perusahaan atau organisasi-organisasi bisnis yang terlibat dalam bentuk-bentuk kegiatan yang diselenggarakan LSM seperti memberikan bantuannya kepada kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat. Hal ini perwujudan dari apa yang disebut dengan corporate social responsibility di kalangan perusahaan. Hal ini perlu dilihat sebagai hal yang positif bagi kepentingan masyarakat.

LSM berkepentingan bahwa dana korporasi ini jangan hanya ditujukan untuk melayani kepentingannya sendiri untuk membangun citra bahwa mereka memperhatikan kepentingan masyarakat. Hal ini biasanya dilakukan perusahaan dengan membentuk yayasan sendiri dan dengan memberikan bantuan untuk pengembangan masyarakat hanya di sekitar lokasi perusahaan itu saja. LSM berkepentingan agar dana perusahaan diberikan melalui mekanisme dan prosedur yang memungkinkan akses terhadap dana menjadi lebih luas dan dapat dipergunakan oleh LSM-LSM lain yang bukan hanya yayasan bentukan perusahaan tersebut.

Di Filipina, misalnya, undang-undang perpajakannya menentukan bahwa setiap perusahaan atau pengusaha yang mendonasikan dananya kepada NGO, maka jumlah dana yang disumbangkan tersebut akan mengurangi pajak penghasilan yang dibayarkan perusahaan atau pengusaha untuk tahun bersangkutan. Pemerintah Filipina memperkenankan hal ini untuk mendorong peningkatan pelayanan publik oleh NGO. Pada mulanya dana ini hanya diberikan kepada NGO yang disetujui oleh pemerintah dalam hal ini Bureau of Internal Revenue atau seperti Direktorat Jenderal Pajak di Indonesia. Kemudian dalam penerapan Comprehensive Tax Reform Program yang diundangkan pada Januari 1998 disepakati bahwa kalangan NGO Filipina akan mempunyai suatu lembaga yang diberikan mandat untuk memberikan sertifikasi mengenai NGO-NGO mana saja yang dapat mendapatkan bantuan (donasi) tersebut. Lembaga yang diajukan adalah Philippines Council for NGO Sertification (PCNC) yang didirikan oleh kalangan yayasan perusahaan dan jaringan-jaringan NGO pada tahun 1995 untuk mengantisipasi undang-undang mengenai reformasi perpajakan tersebut. Pada bulan Januari 1998 PCNC menyepakati Memorandum of Understanding (MOU) dengan Pemerintah Filipina (Departemen Keuangan) tentang posisi PCNC. Dalam MOU dicantumkan bahwa PCNC diakui sebagai satu-satunya badan yang akan menyusun dan menjalankan sistem akreditasi untuk menentukan kualifikasi dari kalangan civil society termasuk NGO, untuk mendapatkan akreditasi dari pemerintah sebagai lembaga penerima dana.[4]

6. Peranan organisasi payung (umbrella organizations)

Adalah merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa baik pada tingkat nasional di Jakarta maupun di berbagai ibukota propinsi telah banyak sekali terbentuk berbagai jaringan kerjasama antar LSM. Jaringan-jaringan kerjasama ini dikenal dengan berbagai nama seperti konsorsium, forum, koalisi, aliansi, solidaritas dan lain-lain. Berbagai jaringan ini dibentuk untuk berbagai kebutuhan. Ada yang dibentuk untuk memperjuangkan isyu-isyu(issues oriented) tertentu seperti masalah lingkungan hidup, kehutanan, korupsi, demokrasi, hak asasi manusia, hutang luar negeri, dan sebagainya. Ada pula yang bersifat ad hoc. Seringkali ikatan antar peserta jaringan dibuat seinformal mungkin, lebih merupakan forum untuk bertukar pikiran dan untuk menyuarakan sikap bersama mengenai isyu tersebut tanpa adanya hubungan yang bersifat hirarkis yang disertai dengan hak-hak dan kewajiban yang jelas dari anggota-anggotanya. Keanggotaaan organisasi pun bersifat sangat longgar yang dapat menghimpun berbagai kalangan LSM yang beranek-ragam tujuan dan program yang dilaksanakannya

Namun demikian tampaknya sampai sekarang belum ada suatu organisasi yang secara khusus dari waktu ke waktu mempromosikan, memperjuangkan, melindungi dan mengembangkan tujuan, program dan kepentingan dari kelompok-kelompok LSM tertentu. Organisasi seperti ini yang biasanya disebut dengan organisasi payung LSM atau asosiasi LSM (umbrella organization, association of NGOs). Asosiasi LSM ini dapat melakukan berbagai fungsi antara lain sebagai berikut:

    Asosiasi LSM berfungsi membela nilai-nilai, tujuan-tujuan dan kepentingan dari LSM anggota-anggotanya dan mewakili mereka dalam berbagai forum pemerintah, lembaga penyandang dana, pihak swasta dan publik pada umumnya.
    Asosiasi LSM mengembangkan kerjasama dengan jaringan di antara anggota-anggotanya dan membantu pengembangan program dan aktivitas mereka, misalnya dengan mempromosikan dan merekomendasikan anggota-anggotanya kepada lembaga penyandang dana pemerintah atau lembaga lainnya.
    Asosiasi LSM membantu dalam menggali dan memobilisasi potesi sumberdaya untuk anggota-anggotanya.
    Asosiasi memberikan pelatihan, konsultasi, serta penelitian dan pengembangan (R&D) untuk anggota-anggotanya dan melakukan fungsi pengembangan kapasitas (capacity building) dari LSM yang menjadi anggota-anggota.
    Asosiasi LSM memberikan berbagai pelayanan kepada anggota-anggotanya, seperti pelayanan akan informasi (seperti database, perpustakaan, publikasi, dan sebagainya).
    Asosiasi mengembangkan dan memberlakukan kode etik dan prinsip-prinsip pengelolaan organisasi LSM yang efisien, efektif, akuntabel dan transparan dan melakukan pemantauan terhadap pelaksanaannya serta memberikan sanksi atas pelanggarannya.



Dengan melakukan berbagai hal sebagaimana dikemukakan di atas LSM secara bersama-sama dapat meningkatkan kinerjanya dan membangun kepercayaan berbagai pihak seperti pemerintah, lembaga penyandang dana dan publik yang lebih luas terhadap integritas, kredibilitas dan operasionalisasi LSM-LSM yang menjadi anggota asosiasi tersebut.

Dapat dikemukakan bahwa misalnya dewasa ini lembaga-lembaga penyandang dana dalam memberikan bantuan kepada LSM sangat tergantung kepada informasi atau "rekomendasi" yang diperoleh mengenai lembaga-lembaga tersebut dengan mengandalkan penilaian yang dilakukannya sendiri maupun oleh informan yang diminta melakukannya. Cara lain dengan menyalurkan bantuan-bantuannya melalui LSM-LSM besar di Jakarta yang dipercaya untuk itu dan mengandalkan kepada BINGO yang bersangkutan dalam memberikan rekomendasi mengenai LSM yang akan dibantu. Hal seperti ini sesungguhnya dapat merugikan kepentingan LSM yang ada di daerah.

Di pihak lain tidak kurang pula adanya kekecewaan dari pihak donor terhadap sementara LSM yang dinilai sangat lemah dalam pengelolaan program serta tidak transparan dalam soal keuangan dan tidak akuntabel dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Sementara komunitas LSM tidak cukup memberikan respons untuk perbaikan hal itu.

Ketiadaan asosiasi LSM sesungguhnya juga dapat merugikan proses perundingan yang dilakukan oleh LSM dalam bernegosiasi dangan pihak luar. Pemerintah atau lembaga penyandang dana dapat "memanipulasi" LSM untuk kepentingan mereka. Misalnya untuk sesuatu program yang ingin mereka jalankan yang mengharuskan pemerintah atau lembaga donor berkonsultasi dengan LSM. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk mengundang seluruh LSM, sementara organisasi yang mempunyai mandat mewakili kepentingan LSM itu tidak ada, maka dapat terjadi mereka mengundang beberapa LSM berdasarkan pilihan subyektif dan dengan cara itu kemudian mengatakan bahwa mereka sudah berkonsultasi dengan LSM.

Di pihak lain ketiadaan organisasi yang mewakili kepentingan LSM ini dapat menempatkan pemerintah atau lembaga donor dalam keadaan frustrasi menghadapi LSM. Sebab berapa banyak pun LSM yang mereka konsultasi selalu akan timbul reaksi dari kalangan LSM bahwa LSM tidak cukup dikonsultasi atau yang dikonsultasi tidak dapat mewakili kepentingan mereka.

Dalam konteks inilah kelahiran Konsil LSM Indonesia (Indonesia NGO Council) yang didukung sebanyak 93 LSM pada tanggal 28 Juli 2010 perlu dilihat. Konsil mempunyai kewenangan untuk mewakili kepentingan LSM anggota-anggotanya dalam mempromosikan tujuan keberadaan dan kepentingan-kepentingan LSM dalam berhadapan dengan pihak luar. Sehingga visi, misi dan nilai-nilai lainnya yang dianut maupun kepentingan-kepentingan LSM yang ingin diperjuangkan dapat diakomodir kalangan di luar LSM.


[1]Undang-Undang (UU) Nomor 16/2001) sebagaimana diubah oleh UU 28 /2004 tentang Yayasan yang mengatur tentang cara-cara pendirian yayasan. Antara lain ada pasal-pasal tentang Organ Yayasan yang terdiri dari Pembina, Pengurus dan Pengawas. Dalam undang-undang ini ada pemisahan yang tegas antara fungsi, wewenang dan tugas masing-masing serta pengaturan mengenai hubungan antara ketiga organ yayasan tersebut. Undang-undang ini juga menetapkan bahwa yayasan tidak dibenarkan membagi-bagikan hasil kegiatan usahanya kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas (Pasal 3 Ayat 2) Anggota-anggota Pembina, Pengurus dan pengawas yayasan juga dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris dari badan usaha yang didirikannya (Pasal 7 Ayat 2)

[2]UU Nomor 16/2001 Pasal 6 mencantumkan: Yayasan wajib membayar segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan organ Yayasan dalam rangka menjalankan tugas Yayasan.

[3]Lihat Lori A.Vacek,International Conference on Supporting the Nonprofit Sector in Asia: January 9-11, 1998, Conference Report,(Bangkok, Thailand: Asia Pacific Philanthropy Consortium, 1998).

[4]Randall A. Chamberlain,Regulating Civil Society, The Philippine Council for NGO Certification (PCNC, (Manila: PCNC, 1998), hal. 12


Sumber :
http://www.konsillsm.or.id/publikasi/artikel/mengapa-lsm-membutuhkan-kode-etik.html

Membedah Gerak-gerik LSM



Siapa yang tidak kenal LSM? Menurut kamus online Wikipedia LSM merupakan organisasi non pemerintah (Non Government Organisation/NGO) yang independent dan mandiri, bukan merupakan “undebouw” dari sebuah lembaga Negara dan pemerintah, partai poltik dan tidak menjalankan politik praktis untuk mengejar kekuasaan. LSM bekerja atas dasar kesadaran untuk membantu masyarakat atau menghasilkan tujuan yang bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Dengan kata lain kerja-kerja LSM bersifat non profit. Dalam perjalanannya LSM-LSM terspesialisasi bergerak dibidang garapan tertentu. Ada LSM lingkungan, LSM pemberdayaan masyarakat, LSM pertanian, perikanan, LSM hukum, LSM yang bergerak dibidang kontrol kebijakan pemerintah dan lain sebagainya.

LSM didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum. Keberadaan LSM disamakan dengan Organisasi masyarakat (ormas) yang berdirinya mengacu pada UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. LSM fungsinya adalah non profit, bukan untuk memperkaya pengurus atau aktivis penggiatnya. Kiprahnya adalah bersifat sosial yang bermuara pada kemanfaatan dan keberpihakan pada kebenaran dan keadilan.

Berdasarkan definisi, fungsi dan kiprahnya tersebut, secara teori keberadaan LSM sangat idealis dan memiliki tujuan yang sangat luhur. LSM merupakan bentuk aktualisasi diri pada orang-orang yang memiliki kepekaan sosial dan ingin menyalurkan diri bagi kemanfaatan orang lain. Dalam perjalannnya keberadaan LSM cukup bias. Tak sedikit LSM yang ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan praktis individu dan para penguasa. Stigma yang terbentuk dalam pikiran sebagaian masyarakat bahwa LSM adalah wadah bagi orang-orang yang ingin cari uang. LSM sering menjelma menjadi tukang peras pemerintah dengan bargaining yang dimilikinya. LSM seringpula digunakan sebagai tameng bagi penguasa dalam mengaplikasikan kebijakan yang kontra masyarakat. LSM-pun sering dijadikan underbouw bagi partai politik untuk masuk ke masyarakat dan meraih hati masyarakat. Apa yang salah dari LSM?

Tak ada yang salah dari LSM. Yang salah adalah oknum yang terdapat pada LSM tersebut. Oknum inilah yang selalu memanfaatkan LSM untuk kepentingan pribadinya. Tak elok kiranya ketika kita men-juidge bahwa LSM adalah “jelek” karena yang jelek itu adalah oknum yang men-disorientasikan tujuan pendirian LSM dan oknum yang menghuni didalamnya. Memang Kita sadari bahwa tak sedikit LSM yang didirikan sebagai “underbouw” Partai politik atau alat legalitas para penguasa, namun tak sedikit pula LSM yang betul-betul didirikan murni untuk kepentingan masyarakat. Begitupun tak sedikit pula oknum LSM yang memanfaatkan LSM untuk cari uang, namun tak sedikit pula orang-orang yang aktif di LSM dengan tetap idealis berpegang pada tujuan mulia.

LSM yang baik adalah LSM yang tanggap dan peka terhadap masyarakat. LSM yang selalu memberikan pencerdasan dan pencerahan kepada masyarakat. LSM yang mampu menjadi bagian dari solusi atas permasalahan rakyat. Amat disayangkan ketika terjadi suatu peristiwa misalkan pada suatu daerah ada kapal isap yang akan beroperasi. Kapal Isap keberadaanya menghancurkan ekosistem perairan (terumbu karang) dan mengganggu kegiatan para nelayan. Pada kondisi ini masyarakat jelas dirugikan. Seharusnya LSM lingkungan atau LSM yang bergerak dibidang Nelayan berteriak lantang bukan malah diam atau mendukung. LSM seharusnya mengadvokasi dan melakukan kegiatan represif untuk membantu para nelayan.

Bila ditelaah lebih dalam keberadaan LSM cukup diakui dan dianggap oleh publik. LSM bisa menjadi momok bagi para penguasa yang berprilaku salah. LSM acapkali menjadi pionir yang menjelma menjadi kekuatan massa ketika hak-hak masyarakat termarginalkan. Disamping itu LSM juga bisa menjadi pencerah atau memberikan pencerdasan bagi masyarakat. Bukan menghasut atau memprovokasi masyarakat. LSM bisa turun langssung ke masyarakat, mendekati dan merangkul masyarakat, mengadakan kegiatan-kegiatan yang berguna bagi masyarakat. Kerja LSM memang kerja berat karena non profit. Namun bagi mereka yang terbiasa aktif di LSM atau organisasi, bagi mereka yang memiliki jiwa sosial yang tinggi, ada sebuah kenikmatan lebih yang tidak tergantikan oleh uang.

Di Provinsi Bangka Belitung cukup banyak terdapat LSM, Ormas, yayasan dan lain sebagainya. Ada LSM yang bersifat lokal, adapula yang menjadi cabang dari LSM, ormas, tingkat pusat. Apakah kiprah dan keberadaannya tersebut betul-betul memberikan manfaat bagi masyarakat? Silahkan masyarakat yang menilai. Masing-masing berhak untuk menilai. Namun yang pasti, tak ada yang salah dari LSM. Yang salah adalah oknum yang menjadi pengurus dan aktivis penggiat LSM. Mari kita rubah “mind set” berpikir kita bahwa keberadaan LSM sesungguhnya banyak membawa kemanfaatan. Kita bedakan mana LSM yang betul murni membantu masyarakat dan atau LSM yang hanya dijadikan alat bagi keuntungan pribadi saja. Yakinlah bahwa bila LSM kembali ke “khitah” nya maka LSM akan menjelma menjadi katalisator bagi kemajuan masyarakat. Semoga!




Sumber : 
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=LSM%20Katalisator%20-%20Membedah%20Gerak-gerik%20LSM&&nomorurut_artikel=424