Minggu, 05 Februari 2012

Mengapa LSM Membutuhkan Kode Etik?



LSM bukanlah sekedar mendirikan organisasi bernama yayasan untuk mendapatkan proyek-proyek pemerintah atau pun keuntungan-keuntungan ekonomi atau politik. LSM didirikan dengan tujuan-tujuan yang lebih ideal yaitu perwujudan dari semangat filantropi dan altruisme.

Dengan filantropi dimaksudkansebagai "mencintai (sesama) umat manusia, dengan memberikan bantuan kepada yang membutuhkan"; dan altruismedengan "menaruh perhatian dan kepedulian terhadap orang lain atau kemanusiaan". Dengan perkataan lain apapun program atau bentuk kegiatan yang diselenggarakan LSM ia harus dilandasi oleh nilai-nilai ideal yang dirumuskan dalam bentuk visi, misi dan tujuan-tujuan organisasi lainnya. Nilai-nilai ini disebut dengan nilai-nilai moral.

1. Latar Belakang

Dipulihkannya kebebasan-kebebasan dasar warganegara seperti kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat telah menandai era kebangkitan masyarakat sipil (civil society). Sebagai salah satu komponen terpenting masyarakat sipil, ribuan LSM baru telah muncul di berbagai daerah dengan maksud untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga publik lainnya atau untuk ikut mengambil bagian dalam membantu berbagai kelompok masyarakat miskin dan marginal lainnya.

Keterlibatan LSM dalam membantu rakyat marginal dilakukan melalui program-program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat yang disusun kalangan LSM sendiri dengan bantuan dana dari para donor atau bekerjasama dengan pemerintah melalui berbagai program jaring pengaman sosial dan lain-lain. Keterlibatan LSM dalam program-program pengurangan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat ini dimungkinkan dengan adanya kebijakan pemerintah dan lembaga donor yang memberikan tempat bagi LSM untuk ikut mengambil bagian dalam berbagai program pemerintah, khususnya yang berhubungan dengan pengurangan kemiskinan.

Namun demikian, situasi kebebasan tanpa didukung adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai prinsip-prinsip keberadaan dan operasionalisasi LSM juga telah menimbulkan berbagai dampak negatif yang pada gilirannya dapat merugikan citra LSM secara keseluruhan. Antara lain adalah munculnya yayasan-yayasan[1] yang kemudian diberi label LSM yang didirikan oleh aparatur pemerintah (pegawai negeri), kalangan pengusaha atau pun oleh anggota masyarakat sendiri dengan motivasi mencari keuntungan ekonomi atau politik semata.

Persoalannya adalah bahwa "booming" yayasan berlabel LSM, LSM yang hanya bertujuan mencari keuntungan ekonomi atau politik, serta penyalahgunaan yang dilakukan sementara kalangan LSM: di masa depan akan dapat merusak citra LSM secara keseluruhan. Citra yang terbentuk ini dapat dipakai oleh lembaga-lembaga lain: apakah itu pemerintah, kalangan legislatif, kalangan yudikatif atau pun partai politik sebagai counter-attack yang akan memojokkan atau mendiskreditkan komunitas LSMsecara keseluruhan. Serangan ini juga pada gilirannya akan dapat mengganggu kepentingan-kepentingan LSM dalam berhubungan dengan pemerintah atau pun dengan lembaga-lembaga donor.

Komunitas LSM yang banyak mengkritisi perbuatan-perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan pejabat-pejabat pemerintah, tampaknya tidak dapat berbuat apa-apa terhadap berbagai tindakan yang dapat merugikan citra dan integritas LSM secara keseluruhan tersebut kecuali menyerahkannya kepada proses hukum. Sehingga terkesan bahwa LSM mempunyai "standar ganda". Salah satu penyebabnya adalah belum adanya rumusan norma-norma moral yang disepakati bersama mengenai apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah, yang dijadikan pedoman perilaku LSM dalam bertindak ke dalam mau pun ke luar.

2. Apa, siapa dan bagaimana LSM

LSM tidaklah identik dengan yayasan. Yayasan adalah salah satu bentuk badan hukum yang kebetulan dipilih oleh sebagian besar LSM. Tidak semua yayasan dapat dikategorikan sebagai LSM sebagaimana halnya tidak semua LSM berbadan hukum yayasan, karena ada LSM yang mempunyai badan hukum perkumpulan.

Salah satu perbedaan penting yang perlu diperhatikan antara sebagian yayasan dengan LSM adalah bahwa: LSM ada dasarnya didirikan untuk keuntungan publik atau segmen masyarakat yang lebih luas (public benefit). Sedangkan yayasan ada yang didirikan untuk melayani kepentingan yang terbatas, misalnya kepentingan anggota-anggotanya saja. Yayasan Kostrad misalnya didirikan untuk melayani tentara yang menjadi anggota Kostrad. Demikian pula Yayasan Karyawan BULOG dan berbagai yayasan karyawan lainnya didirikan untuk kepentingan anggota-anggotanya saja(mutual benefit).Demikian pula ada perkumpulan yang hanya melayani anggota-anggotanya. Perkumpulan dokter (Ikatan Dokter Indonesia) atau akuntan (Ikatan Akuntan Indonesia) tidak pula dapat disebut sebagai LSM. Tetapi mereka tetap merupakan bagian dari masyarakat sipil (civil society).

Sebagaimana dikemukakan di atas, apa yang sangat populer dikenal dengan istilah LSM di Indonesia sesungguhnya adalah pengganti istilah non-governmental organizations (NGO). Istilah ini diperkenalkan pada awal tahun 1980-an, karena istilah NGO dapat menimbulkan kesan dan interpretasi sebagai "anti pemerintah", sesuatu yang tidak disukai rezim orde baru pada waktu itu. Karena itu sekarang ini sebagian LSM dengan sadar kembali mengembangkan istilah Ornop (Organisasi Non-Pemerintah), terutama oleh kalangan LSM yang bergerak dalam advokasi terhadap pemerintah. Namun demikian, dalam berbagai pertemuan informal atau formal, diskusi, seminar, lokakarya serta pemberitaan pers, dan sebagainya istilah LSM tetap lebih banyak dipergunakan.

Dalam berbagai definisi yang umum diterima, istilah LSM menunjuk kepada beberapa bentuk organisasi atau kelompok dalam masyarakat yang secara hukum bukan merupakan bagian dari pemerintah (non-pemerintah) dan bekerja tidak untuk mencari keuntungan (non-profit) yang akan dibagi-bagikan kepada pendiri atau pengurus-pengurus, seperti yang dikenal dalam dunia perusahaan sebagai dividen.

Istilah ini sekaligus menempatkan LSM sebagai "sektor ketiga" dalam tiga sektor model kehidupan manusia moderen, yaitu sektor negara (state), pasar (market) dan masyarakat sipil (civil society).

Ke dalam ranah OMS selain LSM dapat dimasukkan berbagai organisasi/kelompok yang ada di dalam masyarakat seperti organisasi kemasyarakatan (Ormas), Organisasi sosial (Orsos), Organisasi sosial-keagamaan, organisasi pendidikan, kesehatan, organisasi profesi, kelompok swadaya masyarakatdan sebagainya.

Dari berbagai uraian di atas dapat dirumuskan beberapa kata kunci untuk merumuskan karakteristik dari LSM.

1. Bersifat non-pemerintah(non governmental). LSM yang didirikan secara hukum tidak mempunyai kaitan dengan organisasi negara atau pemerintahan.

2. Mempunyai asas kesukarelaan (voluntary). LSM didirikan dengan mengandung unsur-unsur kesukarelaan. Misalnya ada sejumlah orang (apakah itu sekelompok banyak orang atau sekelompok kecil orang) yang mendirikan LSM dengan menyediakan waktunya secara sukarela (tanpa dibayar) untuk kepentingan organisasi tersebut.

3. Tidak untuk mencari keuntungan(non-profit, not-for profit). LSM tidak didirikan untuk mencari profit yang dibagi-bagikan bagi pendiri-pendiri atau pengurus-pengurusnya. Kendati demikian LSM dapat saja mempunyai pegawai (eksekutif, staf program, staf pendukung, dan lain-lain) yang dibayar dalam bentuk gaji/benefit/kompensasi lainnya untuk tugas-tugas yang mereka kerja. Tetapi tetap ada sejumlah orang yang menjadi pendiri atau pengurus (board of directors) yang tidak menerima gaji, melainkan hanya sekedar penggantian atas pengeluaran-pengeluaran yang mereka lakukan dalam pelaksanaan tugas-tugas dalam melayani organisasi (uang transpor, dsb.).[2]

4. Tidak untuk melayani diri sendiri atau anggota-anggota(self-serving). LSM didirikan untuk melayani kepentingan masyarakat, kaum miskin, kaum dhuafa, kaum yang tersingkirkan, kaum yang terlanggar hak-haknya sebagai warga masyarakat yang tidak mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya atau menggapai hak-haknya secara penuh melalui tindakan-tindakan langsung atau tidak langsung. LSM juga menyuarakan kepeduliannya terhadap berbagai kebijakan dan tindakan pemerintah menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat secara keseluruhan.

3. Apa itu kode etik?

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa LSM didirikan jauh lebih daripada sekedar mendirikan organisasi bernama yayasan untuk mendapatkan proyek-proyek pemerintah atau keuntungan-keuntungan ekonomi atau politik. LSM didirikan dengan tujuan-tujuan yang lebih ideal yaitu perwujudan dari semangat filantropi (philanthropist) dan altruisme(altruism). Dengan filantropi dimaksudkan "mencintai (sesama) umat manusia, dengan memberikan bantuan kepada yang membutuhkan", dan dengan altruisme dimaksudkan "menaruh perhatian dan kepedulian terhadap orang lain atau kemanusiaan". Dengan perkataan lain apapun program atau bentuk kegiatan yang diselenggarakan LSM ia dilandasi oleh nilai-nilai ideal yang dirumuskan dalam bentuk visi, misi dan tujuan-tujuan organisasi lainnya. Nilai-nilai ini disebut dengan nilai-nilai moral.

Hal ini membawa kita kepada sesuatu yang disebut dengan kode etik. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan kode etik(code of ethics, code of conducts itu.Kode Etik berasal dari kata code yang dapat diterjemahkan sebagai kumpulan aturan dan ethics yang berarti prinsip-prinsip moral.

Dengan Kode Etik dimaksudkan adalah kumpulan aturan yang berisikan prinsip-prinsip moral yang diyakini sebagai yang benar atau salah, baik atau buruk, untuk dilakukan.

Etik dapat dibedakan atas etik personal (personal ethics) dan etik sosial(social ethics). Etik personal mengandung pengertian bagaimana seseorang bertindak atau berperilaku terhadap dirinya sendiri, sedangkan etik sosial adalah bagaimana bertindak atau berperilaku terhadap orang lain. Keduanya dapat dibedakan dalam pengertian bahwa etik personal adalah kewajiban terhadap diri sendiri dan etik sosial merupakan kewajiban terhadap orang lain

4. Mengapa LSM membutuhkan kode etik?

Nilai-nilai moral sebagaimana dikemukakan di atas perlu diperjuangkan kepada pihak luar dan ke dalam diri LSM sendiri. Kepada pihak luar seperti misalnya kepada pemerintah, donor, kalangan swasta, kelompok masyarakat yang menjadi partisipan program maupun publik yang lebih luas, LSM perlu selalu mempromosikan tujuan keberadaannya dan kepentingan-kepentingannya sehingga visi, misi dan nilai-nilai yang dianut oleh LSM dapat diakomodir oleh pihak luar tersebut. Sedangkan ke dalam komunitas LSM perlu menjaga bahwa nilai-nilai moral yang diperjuangkan tersebut tidak dirusak oleh satu atau segelintir LSM atau "organisasi lain yang menamakan dirinya LSM" sehingga dapat merusak integritas dan kredibilitas LSM secara keseluruhan yang pada gilirannya dapat menimbulkan citra negatif LSM. Sebab bagaimana pun juga aktivitas LSM adalah sesuatu yang rentan terhadap penyalah-gunaan.

Adanya kode etik yang disepakati bersama, diimplementasikan bersama dan diawasi bersama akan memberikan berbagai keuntungan kepada komunitas LSM secara keseluruhan dalam membangun integritas dan kredibilitas LSM kepada pihak luar. Sekurang-kurangnya pihak luar melihat LSM juga peka terhadap perbuatan-perbuatan tercela yang dapat menimpa dirinya atau tidak mempergunakan "standar ganda" dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitasnya.

Adalah merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa LSM dewasa ini sangat aktif dalam menelanjangi berbagai praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan aparat pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya. Memperjuangkan good governance memang merupakan sesuatu yang harus dilakukan oleh LSM. Sementara itu ada praktek-praktek yang kurang baik yang dilakukan segelintir LSM yang mungkin karena solidaritas sesama kawan atau karena belum ada organisasi yang berwenang untuk itu masih didiamkan begitu saja. Sikap ini akan dapat dipakai oleh pemerintah dan lembaga-lembaga negara untuk memukul balik LSM. Misalnya dengan mengembangkan opini publik bahwa LSM sama saja dengan lembaga-lembaga lain.

Salah satu faktor lain adalah perkembangan global. Bahwa keberadaan LSM yang sehat dan kuat dalam arti didirikan secara sukarela, tidak beorientasi kepada keuntungan ekonomi, independen terhadap pemerintah, dikelola secara transparan, demokratis, akuntabel dan beorientasi kepada dan mewakili kepentingan masyarakat, sebenarnya sudah lama menjadi kepedulian berbagai pihak di dunia internasional.

Salah satu aspek yang menjadi perhatian dunia internasional adalah terciptanya good governance yang diterjemahkan menjadi tata-pemerintahan/tata-pengurusan yang baik. Ada kecenderungan pengertian bahwa good governance sama dengan good government atau pemerintah yang baik. Pengertian governance jauh lebih luas karena bisa termasuk kelompok swasta yang misalnya dikenal dengan istilah corporate governance mau untuk kalangan organisasi masyarakat sipil (termasuk LSM). Salah satu yang menjadi perhatian donor adalah terciptanya good NGO governance.

Dalam suatu konferensi internasional untuk mendukung sektor nirlaba di Asia[3] dalam salah satu rekomendasinya mengusulkan agar pemerintah negara-negara Asia dan LSM perlu bekerjasama untuk mengeksplorasi kemungkinan penerapan ketentuan untuk "mengatur diri sendiri" (self-regulation) yang dilakukan oleh dan bagi kalangan LSM sendiri.

Ada dua bentukself-regulation: pertama upaya yang dilakukan oleh sebuah LSM untuk mengatur dirinya sendiri atau individu-individu yang menjadi anggotanya; dan kedua upaya sekelompok LSM dalam menyusun norma-norma bagi semua LSM yang akan dijadikan pegangan bersama ke dalam dan ke luar, misalnya yang berisikan norma-norma mengenai praktek-praktek yang baik (good practices) yang dapat dijadikan acuan bagi komunitas LSM sebagai suatustandards for good governance. Standar ini misalnya antara lain dapat berisikan dasar-dasar filosofi dan prinsip-prinsip yang dianut dalam melaksanakan kegiatannya, dalam berhubungan dengan pihak luar seperti pemerintah dan para donor dan kelompok sasarannya serta prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi.Dasar pemikiran dariself-regulation ini adalah bahwa LSM perlu didorong untuk mengatur dirinya sendiri agar dapat dihindarkan campur-tangan negara (state) yang berlebih-lebihan.

Bahkan dalam program-program bantuan para donor kepada LSM sekarang ini masalah-masalah yang berhubungan dengan governance reform termasuk salah satu fokus penting dari banyak donor yang membantu civil society di Indonesia. Sejumlah donor telah memberikan bantuan untuk membangun kapasitas organisasi dan kelembagaan demi terciptanya LSM yang efektif, efisien, profesional, transparan dan akuntabel.

Di pihak lain dengan keterlibatan pemerintah dan terutama lembaga-lembaga donor yang membantu serta meminta LSM untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance diberlakukan dalam praktek-praktek kegiatan LSM, maka tampaknya sudah waktunya pula kalangan LSM untuk mempertimbangkan perlunya untuk mempunyai suatu standar moral dan etika yang dikenal dengan nama kode etik. Kode etik ini akan berisikan prinsip-prinsip moral yang akan menjadi pegangan LSM yang akan menjadi pegangan LSM dalam mengatur perilakunya ke dalam dan dalam berhubungan dengan pihak-pihak luar. Adanya kode etik ini akan menunjukkan bahwa kalangan LSM cukup sensitif terhadap kemungkinan disalahgunakan dan untuk menunjukkan nilai-nilai yang mereka anut.

Agar LSM dapat dihargai dan dihormati oleh pihak luar dan mempunyai akses yang lebih baik terhadap sumberdaya dari luar di masa-masa yang akan datang, akan semakin ditentukan oleh bagaimana pihak-pihak di luar LSM tersebut melihat LSM telah bekerja secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel berdasarkan nilai-nilai moral.

Adanya Kode Etik bukanlah sesuatu yang khas dalam arti hanya dibutuhkan LSM Indonesia. Di dalam percaturan NGO internasional banyak sekali organisasi/jaringan-organisasi NGO yang mempunya kode etik. Antara lain misalnya dapat dikemukakan sepertiCanadian Council for International Cooperation (CCIC) di Kanada, CODE-NGO di Filipina, Australian Council for International Development (ACFID) di Australia dan di banyak negara lain.

5. Hubungan antara LSM dengan Pemerintah, Lembaga Donor dan Sektor Swasta

Kalau lembaga-lembaga penyandang dana dan pemerintah, sebagaimana dikemukakan di atas berkepentingan dengan LSM yang mampu bekerja efektif, efisien, transparan dan akuntabel, maka LSM juga mempunyai kepentingan-kepentingan baik yang bersifat ideal atau pun material terhadap pihak-pihak tersebut yang perlu dipromosikan, dibela dan dilindungi dalam berhdapan dengan pihak luar.

Dalam hal kepentingan terhadap pihak luar, dapat saja terjadi perbedaan kepentingan antara LSM-LSM advokasi dengan LSM-LSM yang bergerak dalam pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam keterlibatannya di proyek-proyek yang disponsori pemerintah, LSM pembangunan misalnya mengembangkan nilai-nilai bahwa setiap orang mempunyai hak untuk ikut serta dalam pembangunan sebagai salah satu hak asasi manusia yang melekat dan tidak dapat dihilangkan. Setiap orang baik secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dapat menyumbang kepada pembangunan sosial, ekonomi, kultural dan politik bangsanya. Sehubungan dengan nilai-nilai yang dianut itu LSM yang bergerak dalam pembangunan atau pengembangan masyarakat akan memperjuangkan bahwa LSM mempunyai hak untuk terlibat dalam program-program pembangunan sebagai mitra pemerintah yang setara serta mempunyai hak untuk memperoleh akses pendanaan tanpa mengorbankan otonomi dan independensi mereka. Di pihak lain, LSM-LSM yang bergerak dalam advokasi perubahan kebijakan seringkali menolak keterlibatan mereka dalam proyek-proyek pemerintah agar kampanye mereka akan lebih efektif atau untuk menghindari agar tidak "terkooptasi" oleh pemerintah.

Terlepas dari berbagai kepentingan yang berbeda tersebut secara umum apa yang diharapkan oleh LSM terhadap pihak luar dapat dikemukan sebagai berikut:

Hubungan dengan pemerintah

Dalam berhubungan dengan pemerintah kepentingan yang paling pokok diperjuangkan adalah agar pemerintah dengan kebijakannya menciptakan iklim dan lingkungan yang kondusif dengan memberikan ruang-gerak dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi LSM untuk beroperasi dengan berkembang. Untuk itu di butuhkan antara lain sebagai berikut:

Pertama,jaminan konsitusional berupa kebebasan berserikat bagi bagi setiap warganegara.

Kedua, adanya pengakuan yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah bahwa LSM dapat bekerja secara independen dengan berbagai kegiatannya pada tingkat lokal, regional, nasional dan internasional tanpa hambatan.

Ketiga, menjamin akses LSM terhadap sumberdaya dari berbagai sumber untuk melaksanakan kegiatannya: dari pemerintah sendiri, lembaga-lembaga penyandang dana internasional dan domestik, sektor swasta, donasi publik serta individual.

Keempat,pemerintah dari waktu ke waktu harus melakukan konsultasi dengan LSM yang dilandasi dengan semangat kemitraan (partnership). Perumusan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi kerja dan kepentingan LSM harus dilakukan melalui konsultasi serta pemberian informasi kepada kalangan LSM terlebih dahulu. Mekanisme ini dapat dilakukan misalnya dengan cara: (1)menciptakan "focal point" hubungan antara pemerintah dengan LSM untuk memfasilitasi kontak-kontak antara LSM dengan Pemerintah. (2) Menjamin keterwakilan LSM dalam berbagai kelompok kerja dan komite kerja pemerintah yang relevan dengan kepentingan bersama LSM. (3) Adanya pertemuan-pertemuan konsultatif antara pemerintah dalam suatu forum di mana pemerintah dan LSM dapat duduk bersama dalam perumusan program-program pemerintah.

Kelima, memberikan akses sumberdaya kepada LSM dalam bentuk hibah (grant) atau kontrak-kontrak yang caranya disesuaikan dengan kepentingan LSM yang tidak akan menghilangkan independensi dan tidak mendistorsi tujuan LSM itu sendiri. Pemerintah juga dapat mendorong dana dari sektor swasta kepada LSM dengan memberikan insentif berupa penghapusan atau pengurangan pajak bagi keuntungan mereka yang dihibahkan kepada LSM. Memberikan bantuan untuk meningkatkan kualitas kerja LSM, misalnya meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial LSM.

Hubungan dengan lembaga-lembaga penyandang dana

Sebagaimana halnya dengan pemerintah, dalam berhubungan dengan lembaga-lembaga penyandang dana, pertama-tama LSM berkepentingan bahwa, kebijakan dan tindakan lembaga donor sebagai institusi yang menyediakan dana dan LSM sebagai yang memperoleh dana, selalu didasarkan atas filosofi dan kebijakan yang bersemangat kemitraan, sikap saling-menghormati, karena pada dasarnya keduanya mempunyai visi dan tujuan yang sama.

Karena itu, kedua, LSM berkepentingan agar lembaga dana dalam merumuskan kebijakan pemberian dananya perlu memberikan konsultasi dan informasi secara jelas mengenai semua hal yang berhubungan dengan pendanaan: seperti strategi dan prioritas program, kriteria LSM yang dapat memperoleh dana, dan sebagainya.

Ketiga, LSM berkepentingan bahwa lembaga penyandang dana berbuat transparan dalam menjelaskan berbagai hal yang berhubungan dengan misi, sasaran, kebijakan, aktivitas, cara-cara pengambilan keputusan serta metode dan prosedur untuk mendapatkan dana.

Hubungan dengan sektor swasta

Bagaimana pun juga sektor swasta sesungguhnya dapat merupakan salah satu potensi pendanaan bagi kegiatan LSM. Masalahnya adalah bagaimana cara-cara atau mekanisme pemberian bantuan tersebut dapat berlangsung secara transparan dan akuntabel. Meski pun sampai sekarang secara umum hubungan antara kalangan LSM dengan sektor swasta belumbegitu baik terutama karena kaitan antara kaum konglomerat di masa lalu yang sangat dekat dengan kekuasaan, besarnya tingkat kolusi antara sektor swasta dengan pemerintah serta banyaknya aktivitas sektor swasta yang merugikan masyarakat dan merusak lingkungan namun, namun dewasa ini di banyak negara semakin banyak perusahaan atau organisasi-organisasi bisnis yang terlibat dalam bentuk-bentuk kegiatan yang diselenggarakan LSM seperti memberikan bantuannya kepada kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat. Hal ini perwujudan dari apa yang disebut dengan corporate social responsibility di kalangan perusahaan. Hal ini perlu dilihat sebagai hal yang positif bagi kepentingan masyarakat.

LSM berkepentingan bahwa dana korporasi ini jangan hanya ditujukan untuk melayani kepentingannya sendiri untuk membangun citra bahwa mereka memperhatikan kepentingan masyarakat. Hal ini biasanya dilakukan perusahaan dengan membentuk yayasan sendiri dan dengan memberikan bantuan untuk pengembangan masyarakat hanya di sekitar lokasi perusahaan itu saja. LSM berkepentingan agar dana perusahaan diberikan melalui mekanisme dan prosedur yang memungkinkan akses terhadap dana menjadi lebih luas dan dapat dipergunakan oleh LSM-LSM lain yang bukan hanya yayasan bentukan perusahaan tersebut.

Di Filipina, misalnya, undang-undang perpajakannya menentukan bahwa setiap perusahaan atau pengusaha yang mendonasikan dananya kepada NGO, maka jumlah dana yang disumbangkan tersebut akan mengurangi pajak penghasilan yang dibayarkan perusahaan atau pengusaha untuk tahun bersangkutan. Pemerintah Filipina memperkenankan hal ini untuk mendorong peningkatan pelayanan publik oleh NGO. Pada mulanya dana ini hanya diberikan kepada NGO yang disetujui oleh pemerintah dalam hal ini Bureau of Internal Revenue atau seperti Direktorat Jenderal Pajak di Indonesia. Kemudian dalam penerapan Comprehensive Tax Reform Program yang diundangkan pada Januari 1998 disepakati bahwa kalangan NGO Filipina akan mempunyai suatu lembaga yang diberikan mandat untuk memberikan sertifikasi mengenai NGO-NGO mana saja yang dapat mendapatkan bantuan (donasi) tersebut. Lembaga yang diajukan adalah Philippines Council for NGO Sertification (PCNC) yang didirikan oleh kalangan yayasan perusahaan dan jaringan-jaringan NGO pada tahun 1995 untuk mengantisipasi undang-undang mengenai reformasi perpajakan tersebut. Pada bulan Januari 1998 PCNC menyepakati Memorandum of Understanding (MOU) dengan Pemerintah Filipina (Departemen Keuangan) tentang posisi PCNC. Dalam MOU dicantumkan bahwa PCNC diakui sebagai satu-satunya badan yang akan menyusun dan menjalankan sistem akreditasi untuk menentukan kualifikasi dari kalangan civil society termasuk NGO, untuk mendapatkan akreditasi dari pemerintah sebagai lembaga penerima dana.[4]

6. Peranan organisasi payung (umbrella organizations)

Adalah merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa baik pada tingkat nasional di Jakarta maupun di berbagai ibukota propinsi telah banyak sekali terbentuk berbagai jaringan kerjasama antar LSM. Jaringan-jaringan kerjasama ini dikenal dengan berbagai nama seperti konsorsium, forum, koalisi, aliansi, solidaritas dan lain-lain. Berbagai jaringan ini dibentuk untuk berbagai kebutuhan. Ada yang dibentuk untuk memperjuangkan isyu-isyu(issues oriented) tertentu seperti masalah lingkungan hidup, kehutanan, korupsi, demokrasi, hak asasi manusia, hutang luar negeri, dan sebagainya. Ada pula yang bersifat ad hoc. Seringkali ikatan antar peserta jaringan dibuat seinformal mungkin, lebih merupakan forum untuk bertukar pikiran dan untuk menyuarakan sikap bersama mengenai isyu tersebut tanpa adanya hubungan yang bersifat hirarkis yang disertai dengan hak-hak dan kewajiban yang jelas dari anggota-anggotanya. Keanggotaaan organisasi pun bersifat sangat longgar yang dapat menghimpun berbagai kalangan LSM yang beranek-ragam tujuan dan program yang dilaksanakannya

Namun demikian tampaknya sampai sekarang belum ada suatu organisasi yang secara khusus dari waktu ke waktu mempromosikan, memperjuangkan, melindungi dan mengembangkan tujuan, program dan kepentingan dari kelompok-kelompok LSM tertentu. Organisasi seperti ini yang biasanya disebut dengan organisasi payung LSM atau asosiasi LSM (umbrella organization, association of NGOs). Asosiasi LSM ini dapat melakukan berbagai fungsi antara lain sebagai berikut:

    Asosiasi LSM berfungsi membela nilai-nilai, tujuan-tujuan dan kepentingan dari LSM anggota-anggotanya dan mewakili mereka dalam berbagai forum pemerintah, lembaga penyandang dana, pihak swasta dan publik pada umumnya.
    Asosiasi LSM mengembangkan kerjasama dengan jaringan di antara anggota-anggotanya dan membantu pengembangan program dan aktivitas mereka, misalnya dengan mempromosikan dan merekomendasikan anggota-anggotanya kepada lembaga penyandang dana pemerintah atau lembaga lainnya.
    Asosiasi LSM membantu dalam menggali dan memobilisasi potesi sumberdaya untuk anggota-anggotanya.
    Asosiasi memberikan pelatihan, konsultasi, serta penelitian dan pengembangan (R&D) untuk anggota-anggotanya dan melakukan fungsi pengembangan kapasitas (capacity building) dari LSM yang menjadi anggota-anggota.
    Asosiasi LSM memberikan berbagai pelayanan kepada anggota-anggotanya, seperti pelayanan akan informasi (seperti database, perpustakaan, publikasi, dan sebagainya).
    Asosiasi mengembangkan dan memberlakukan kode etik dan prinsip-prinsip pengelolaan organisasi LSM yang efisien, efektif, akuntabel dan transparan dan melakukan pemantauan terhadap pelaksanaannya serta memberikan sanksi atas pelanggarannya.



Dengan melakukan berbagai hal sebagaimana dikemukakan di atas LSM secara bersama-sama dapat meningkatkan kinerjanya dan membangun kepercayaan berbagai pihak seperti pemerintah, lembaga penyandang dana dan publik yang lebih luas terhadap integritas, kredibilitas dan operasionalisasi LSM-LSM yang menjadi anggota asosiasi tersebut.

Dapat dikemukakan bahwa misalnya dewasa ini lembaga-lembaga penyandang dana dalam memberikan bantuan kepada LSM sangat tergantung kepada informasi atau "rekomendasi" yang diperoleh mengenai lembaga-lembaga tersebut dengan mengandalkan penilaian yang dilakukannya sendiri maupun oleh informan yang diminta melakukannya. Cara lain dengan menyalurkan bantuan-bantuannya melalui LSM-LSM besar di Jakarta yang dipercaya untuk itu dan mengandalkan kepada BINGO yang bersangkutan dalam memberikan rekomendasi mengenai LSM yang akan dibantu. Hal seperti ini sesungguhnya dapat merugikan kepentingan LSM yang ada di daerah.

Di pihak lain tidak kurang pula adanya kekecewaan dari pihak donor terhadap sementara LSM yang dinilai sangat lemah dalam pengelolaan program serta tidak transparan dalam soal keuangan dan tidak akuntabel dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Sementara komunitas LSM tidak cukup memberikan respons untuk perbaikan hal itu.

Ketiadaan asosiasi LSM sesungguhnya juga dapat merugikan proses perundingan yang dilakukan oleh LSM dalam bernegosiasi dangan pihak luar. Pemerintah atau lembaga penyandang dana dapat "memanipulasi" LSM untuk kepentingan mereka. Misalnya untuk sesuatu program yang ingin mereka jalankan yang mengharuskan pemerintah atau lembaga donor berkonsultasi dengan LSM. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk mengundang seluruh LSM, sementara organisasi yang mempunyai mandat mewakili kepentingan LSM itu tidak ada, maka dapat terjadi mereka mengundang beberapa LSM berdasarkan pilihan subyektif dan dengan cara itu kemudian mengatakan bahwa mereka sudah berkonsultasi dengan LSM.

Di pihak lain ketiadaan organisasi yang mewakili kepentingan LSM ini dapat menempatkan pemerintah atau lembaga donor dalam keadaan frustrasi menghadapi LSM. Sebab berapa banyak pun LSM yang mereka konsultasi selalu akan timbul reaksi dari kalangan LSM bahwa LSM tidak cukup dikonsultasi atau yang dikonsultasi tidak dapat mewakili kepentingan mereka.

Dalam konteks inilah kelahiran Konsil LSM Indonesia (Indonesia NGO Council) yang didukung sebanyak 93 LSM pada tanggal 28 Juli 2010 perlu dilihat. Konsil mempunyai kewenangan untuk mewakili kepentingan LSM anggota-anggotanya dalam mempromosikan tujuan keberadaan dan kepentingan-kepentingan LSM dalam berhadapan dengan pihak luar. Sehingga visi, misi dan nilai-nilai lainnya yang dianut maupun kepentingan-kepentingan LSM yang ingin diperjuangkan dapat diakomodir kalangan di luar LSM.


[1]Undang-Undang (UU) Nomor 16/2001) sebagaimana diubah oleh UU 28 /2004 tentang Yayasan yang mengatur tentang cara-cara pendirian yayasan. Antara lain ada pasal-pasal tentang Organ Yayasan yang terdiri dari Pembina, Pengurus dan Pengawas. Dalam undang-undang ini ada pemisahan yang tegas antara fungsi, wewenang dan tugas masing-masing serta pengaturan mengenai hubungan antara ketiga organ yayasan tersebut. Undang-undang ini juga menetapkan bahwa yayasan tidak dibenarkan membagi-bagikan hasil kegiatan usahanya kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas (Pasal 3 Ayat 2) Anggota-anggota Pembina, Pengurus dan pengawas yayasan juga dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris dari badan usaha yang didirikannya (Pasal 7 Ayat 2)

[2]UU Nomor 16/2001 Pasal 6 mencantumkan: Yayasan wajib membayar segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan organ Yayasan dalam rangka menjalankan tugas Yayasan.

[3]Lihat Lori A.Vacek,International Conference on Supporting the Nonprofit Sector in Asia: January 9-11, 1998, Conference Report,(Bangkok, Thailand: Asia Pacific Philanthropy Consortium, 1998).

[4]Randall A. Chamberlain,Regulating Civil Society, The Philippine Council for NGO Certification (PCNC, (Manila: PCNC, 1998), hal. 12


Sumber :
http://www.konsillsm.or.id/publikasi/artikel/mengapa-lsm-membutuhkan-kode-etik.html

0 komentar:

Posting Komentar