Minggu, 05 Februari 2012

Penguatan Modal Berbasis Masyarakat

Penguatan modal bagi warga miskin merupakan tantangan terbesar dalam upaya peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat miskin di Indonesia. Betapa banyak program-program pemerintah telah digulirkan untuk peningkatan kesejahteraan, tetapi hanya menyentuh pada dataran warga miskin yang membutuhkan. Kebingungan demi kebingungan yang menjadi hambatan besar bagi warga miskin untuk meningkatkan kesejahteraan adalah persepsi umum yang telah berkembang dimasyarakat bahwa warga miskin adalah warga yang harus dibantu karena dianggap sebagai penyandang masalah sosial. Ini adalah pandangan negative pada warga miskin yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Warga miskin adalah warga yang sama kedudukannya dimasyarakat dan bukan sebagai penyandang masalah sosial. Warga miskin memiliki peran penting dalam pembangunan di masyarakat yang selama ini seolah-olah tidak di akui perannya. Peran ini hampir menelusup ke berbagai bidang dan sector kehidupan yang teramat sulit untuk dikerjakan oleh hampir setiap orang. Mereka bekerja di tempat-tempat yang penuh tantangan dan bahaya dengan gaji yang sangat minim.Sungguh luar biasa !  

Penguatan modal bagi masyarakat (khususnya masyarakat miskin) hendaklah menjadi perhatian serius bagi para pelaku pemberdayaan masyarakat. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Baitul Maal wa Tamwil atau Balai usaha Mandiri Terpadu (BMT), Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) melalui program Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), ataupun para pekerja sosial sebagai relawan professional yang biasa mendukung pemberdayaan masyarakat miskin. Mengapa mereka ini harus mendapat perhatian serius. Ada beberapa alasan yang menyebabkan hal ini harus menjadi perhatian serius;

Pertama; masyarakat miskin adalah masyarakat yang termarginalkan dari sisi ekonomi. Memang masyarakat miskin bekerja di berbagai sektor, misalnya, pertambangan pasir, pertambangan batu kali, pemecah batu, profesi tukang batu, tukang kayu, gardener, Cleaning Service, tukang parkir, tukang tambal ban, tukang pembersih ruput kuburan (seperti di Jakarta), penggali kubur, pembersih got dan lain-lain. Semua itu dibutuhkan oleh setiap orang. Namun kadang-kadang ada juga yang memicingkan mata terhadap tugas-tugas tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana seandainya mereka para tukang itu ngambek dan tidak mau kerja. Atau menuntut pekerjaan yang lebih layak dari pada yang selama ini mereka kerjakan. Barangkali dunia akan menjadi kotor, semrawut, bau tidak enak dan lain-lain termasuk mungkin (maaf) menjijikan. Oleh karena itu aksi-aksi mereka dalam beraktifitas haruslah di hargai. Kalau kita tidak bisa menghargai dengan peningkatan upah, minimal sering diberi bonus tambahan agar mereka bisa bekerja dengan maksimal.

Mereka sangat dibutuhkan perusahaan tetapi bukan sebagai leader. Mereka bekerja ditempat-tempat yang kotor yang tidak setiap orang mau mengerjakannya. Seperti sebagai tukang sampah, pembersih got-got/selokan yang kotor. Bekerja di apartemen-apartemen mewah sebagai tukang cat yang memiliki beban dan resiko yang berat, bahkan kadang harus berhadapan dengan resiko kematian. Tidak ada orang yang mau bekerja dengan beban yang berat dan gaji yang kecil kecuali mereka yang miskin.

Kedua, masyarakat miskin adalah masyarakat yang dilihat dari sisi pendidikan rata-rata rendah. Mereka tidak mampu mengembangkan pemikiran lebih luas, karena selama ini yang dihadapi hanya itu-itu saja. Jarang diantara mereka yang berpendidikan rendah memiliki wawasan luas. Kalau toh ada prosentasenya cukup kecil.  Biasanya yang sedikit ini mampu mengembangkan potensi diri karena memiliki keuletan yang luar biasa dan tidak takut untuk jatuh terpuruk. Bagi mereka yang ulet, keterpurukan bukanlah akhir dari sebuah usaha, tetapi pemicu untuk belajar dari kegagalan sehingga dari pengalaman kegagalan yang pernah di alaminya, ada optimisme untuk tidak mengalami kegagalan yang kedua kalinya.

Memang tidak ada kaitannya langsung antara pendidikan dan kesejahteraan. Namun biasanya kaitan yang terjadi itu tidak berdampak secara langsung. Artinya dengan pendidikan tinggi yang dimiliki, seseorang mampu mengembangkan ide-ide segarnya untuk meningkatkan kesejahteraan. Sebenarnya hanya kebiasaan pola hidup disiplin dan beranilah yang mampu mengubah diri menuju kesejahteraan. Jadi tidak ada jaminan bahwa dengan pendidikan tinggi kesejahteraan seseorang otomatis menjadi tinggi pula. Tergantung dari disiplin, kemauan  dan keberanian yang dimiliki seseorang yang akan mampu mengubah nasib seseorang menjadi lebih sejahtera. Orang yang memiliki pendidikan rendah sebenarnya juga memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan kesejahteraan, karena kesejahteraan tidak tergantung pada tingkat pendidikan.

 Betapa banyak lulusan perguruan tinggi, dari diploma hingga sarjana, dari pendidikan D2, D3, S1 hingga S2 namun beberapa tahun masih mencari lapangan kerja. Lamar sana lamar sini, mencari lowongan setiap hari dari media surat kabar, browsing internet,berdesak-desakan mendapatkan informasi bursa kerja, CPNS dan lain-lain. Waktu yang lama ia gunakan hanya untuk menunggu pengumuman diterima menjadi tenaga kerja di sebuah perusahaan. Waktu, tenaga, dana ia gunakan untuk melengkapi berkas-berkas persyaratan, pas foto, foto copy ijazah, legalisir ijazah, mencari kartu kuning dengan berdesakan, mencari Surat Keterangan Kelakuan Baik dari kepolisian dan lain-lain. Ratusan bahkan ribuan pelamar memperebutkan formasi lowongan yang diperuntukkan hanya untuk beberapa orang saja. Perasaan kecewa, sedih, bercampur jengkel menghantui hati mereka ketika tidak diterima menjadi karyawan perusahaan atau CPNS. Hal seperti ini menggejala di kalangan masyarakat kita, tidak membedakan golongan miskin atau kaya.

Tetapi ada sebagian kecil warga masyarakat miskin yang mau berusaha tanpa memikirkan peluang-peluang menjadi karyawan sebuah perusahaan atau pegawai negeri. Padahal kalau sebagian besar masyarakat yang terlibat dalam pencarian lowongan kerja itu mau menggunakan waktu, tenaga dan dana dengan sebaik-baiknya ia bisa menggunakan sebagai modal untuk mengembangkan usaha sendiri. Bukankah Stan Shich seorang pengusaha terkenal pendiri Acer pernah mengungkapkan sebuah pernyataan bahwa,”Menjadi kepala seekor ayam lebih baik dari pada menjadi buntut seekor sapi.” Arti dari ungkapan ini kira-kira begini “lebih baik menjadi direktur diperusahaan sendiri walaupun kecil dari pada menjadi karyawan di perusahaan besar” Usaha sendiri walaupun kecil adalah lebih baik, karena bebas tidak terikat pada waktu kapan harus bekerja, tidak terikat pada tempat dimana harus bekerja, Terserah bagaimana ia mengembangkan usahanya tanpa dituntut target harus mendapatkan berapa customer dan berapa penghasilannya. Ia bisa menentukan berapa penghasilan yang diharapkan dalam sebulan yang ia mau. Tentunya penghasilan besar harus didiringi dengan ikhtiar yang besar pula.

Memang belajar di perguruan tinggi bagi seseorang merupakan harapan dan cita-cita yang luhur dan dambaan bagi setiap orang tua. Minimal dengan pendidikan tinggi dan gelar sarjana yang disandangnya, seseorang memiliki bekal wawasan yang lebih luas dan kemudahan didalam menjalankan manajemen organisasi usaha, kalau mereka mau membuka usaha sendiri.

Pendidikan tinggi yang tidak menyiapkan mahasiswanya untuk berwirausaha mendorong adanya peningkatan pengangguran intelektual. Sehingga ada seseorang yang dari sisi pendidikan cukup tinggi tetapi kesejahteraan hidup tidak diperolehnya, karena tidak memiliki life skill yang diperlukan sebagai bekal menjalani kehidupan untuk medapatkan kesejahteraan

Adapula sebaliknya ada orang yang dari sisi pendidikan rendah  bahkan tidak mengenyam pendidikan formal sama sekali tetapi dengan keuletan, dan semangat belajar yang tinggi untuk maju, ia mengalami kuantum yang luar biasa dalam mendapatkan kesuksesan di dunia. Memang harus di akui bahwa kebanyakan masyarakat miskin itu dari sisi pendidikan, rata-rata berpendidikan rendah. Adanya pembelajaran life skill kepada mereka harus ditumbuhkan. Tentunya ini tidaklah semudah membalik telapak tangan, perlu pembelajaran, contoh, dan praktek yang terus menerus .

Ketiga, masyarakat miskin adalah masyarakat yang sulit untuk mendapatkan akses perbankan. Perbankan tidak mau mengambil resiko terlalu besar untuk menggulirkan dananya tanpa ada agunan. Orang miskin adalah orang yang tidak memiliki agunan untuk dijaminkan kepada bank. Jangankan agunan untuk pinjaman, untuk membiayai hidup sehari-hari saja terasa susah. Sehingga wajar apabila orang miskin  susah untuk mendapatkan akses perbankan.

Kalau toh seandainya ia mendapatkan kredit dengan tingkat suku bunga yang rendah (misalnya 0,5%/tahun seperti yang ditawarkan salah satu BUMN di Yogyakarta dalam program PKBL (Proyek Kemitraan dan Bina Lingkungan)), dengan pengamatan dan informasi yang dimilikinya seolah-olah itu sangat berat dan membebani kecuali mereka yang sudah memiliki




Sumber : 
http://pistaza.wordpress.com/2011/10/08/penguatan-modal-berbasis-masyarakat/

0 komentar:

Posting Komentar